Bagi kebanyakan orang, saat - saat tahun baru berarti saatnya untuk menulis daftar Resolusi Tahun Baru sepert rencana diet, menyelesaikan skripsi, memperbaiki kelakuan, meningkatkan prestasi karir, dsb. Seberapa efektif hal tersebut? Mungkinkah resolusi awal tahun malah berubah menjadi batu sandungan di sepanjang tahun tersebut? Berikut adalah fakta-fakta miring dibalik ritual tahunan ini.
Psikolog Peter Herman dan Janet Polivy dari Harvard University menyatakan bahwa resolusi seperti itu biasanya akan memicu sindrom harapan-palsu karena samar, tidak berhubungan atau tidak realistis. Contohnya, seseorang berjanji untuk menurunkan berat badan agar disayang oleh pasangan, atau seseorang berjanji menghilangkan kebiasaan menunda agar dapat meraih promosi dari bos.
Kedua contoh janji tersebut, sekalipun bisa tercapai, belum tentu secara otomatis membuat seseorang lebih disukai orang atau menarik perhatian sang atasan. Akibatnya, perjalanan komitmen resolusi itu semakin lama semakin melemah karena tidak memberikan reaksi yang diharapkan. Peter mencatat sekitar 25% dari daftar resolusi akan ditinggalkan begitu saja dalam 15 minggu pertama dan sisanya paling lama bertahan hingga bulan keenam di tahun yang bersangkutan. Coba refleksikan apakah hal serupa terjadi pada Anda di tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya?
Seorang psikolog lainnya dari University of Washington, Elizabeth Miller, memperhatikan bahwa orang terbiasa menulis beberapa resolusi sekaligus, sehingga menjadi sebuah daftar; sekitar 67% dari responden surveinya membuat resolusi sebanyak tiga buah atau lebih. Permasalahannya adalah hal itulah yang justru membuat seseorang sulit untuk menggenapi rencana awal tahun mereka, sebagaimana disimpulkan oleh penelitian K.M. Sheldon dan T. Kasser dalam artikel Pursuing Personal Goal yang diterbitkan dalam Personality and Social Psychology Bulletin sebagai berikut:
“A first problem related to New Year’s resolutions is that there are so many of them. Your friends will probably not take you seriously if you come up with only one resolution, for example, to stop spending money on ridiculously expensive shoes. People usually do not come up with only one resolution; they come up with a list. A long list of resolutions can be confusing. Some of your plans may be related to each other and may hinder each others’ execution mutually. For example, it will be quite hard to stop smoking and lose weight at the same time. When one stops smoking usually candies are used to distract oneself of the craving for a cigarette. If you simultaneously refrain yourself from eating candy, you place yourself in position that is twice as challenging.“
Dalam penelitian lainnya, Richard Wiseman, seorang profesor di University of Hertfordshire, mengumpulkan data resolusi awal tahun lebih dari 3,000 orang. Pada awal tahun, sekitar 52% dari partisipan benar-benar yakin akan merasa sukses dengan daftar resolusi mereka, namun setelah dievaluasi dengan seksama pada penghujung tahun, tercatat hanya 12% saja yang berhasil meraih tujuan impian mereka. Itu berarti hanya 360 dari 3000 orang yang bisa tersenyum puas dan menepuk dada mereka dengan bangga!
Saya tidak tahu apakah Anda biasa melakukan ritual resolusi akhir tahun. Jika ya, maka tulisan hari ini pasti berbicara banyak tentang pengalaman Anda selama ini. Jika tidak, maka saya anjurkan Anda untuk mulai melakukannya untuk tahun mendatang. Seluruh data di atas bukannya menunjukkan resolusi akhir tahun sebagai aktivitas yang sia-sia, melainkan hanya mengungkapkan cara atau kebiasaan yang salah dalam menggunakan resolusi.
Lalu bagaimana cara memperbaikinya? Saya beritahu satu resep rahasia tranceformasi tahun baru ala Lex dePraxis berikut ini… :D
* Ciptakan rantai resolusi. Seperti yang sudah diungkapkan para peneliti di atas, jangan sok menulis daftar panjang. Pilih saja dua atau tiga buah komitmen yang paling Anda inginkan, susun sesuai prioritas terpenting atau paling krusial, lalu fokuskan segenap hati dan diri Anda hanya pada satu resolusi yang teratas. Jika resolusi tersebut telah tercapai, di bulan apapun itu, berarti saatnya melangkah pada resolusi tingkatan kedua dan demikian seterusnya. Momentum kepercayaan diri dan kesuksesan dari mata resolusi pertama itu akan membakar Anda untuk resolusi berikutnya. Itu sebabnya jika belum tercapai, maka jangan bermimpi untuk mencoba resolusi kedua dan ketiga.
Alasannya adalah kita memiliki sumber daya yang terbatas, jadi jika Anda mencurahkan seluruhnya pada satu fokus, maka lebih kemungkinan besar tergenapi daripada Anda memecahnya menjadi banyak kepingan fokus yang lemah. Ingat bahwa akan cenderung mendapatkan apa yang Anda fokuskan. Multi-tasking hanya membantu pembelajaran, tapi tidak untuk meraih sebuah tujuan.
* Tuliskan secara sistematis, detil, spesifik dan terukur. Sekedar berkomitmen, “Saya ingin menjadi orang yang lebih baik,” atau “Saya ingin menurunkan berat badan,” atau “Saya ingin lebih disayang oleh pacar,” tidak akan menghasilkan momentum yang kuat ataupun bertahan lama. Darimana Anda bisa tahu kapan Anda sudah mencapai apa yang Anda inginkan? Bagaimana Anda bisa termotivasi jika Anda tidak tahu Anda sudah berjalan sejauh apa dari titik awal dan sedekat apa dengan tujuan akhir?
Anda perlu merangkai dengan spesifik apa yang akan Anda lihat, dengar, dan rasakan jika resolusi itu tercapai. Anda perlu memiliki standar ekspektasi yang mengingatkan Anda kapan progres resolusi itu mencapai 25%, 50%, 75%, dst. Jika Anda tidak menciptakan sistem seperti itu dan mengandalkan perasaan saja, maka Anda akan kehilangan arah di sepanjang tahun karena merasa berjalan di tempat. Lakukan pendetilan ini pada mata rantai resolusi teratas saja, sementara resolusi tingkatan kedua dan ketiga baru didetilkan setelah Anda menyelesaikan resolusi sebelumnya.
* Publikasikan pada seluruh sahabat Anda. Semakin banyak orang yang mengetahuinya, semakin api komitmen Anda berkobar dan terjaga nyalanya. Anda bukan saja menciptakan sebuah support system yang siap membantu jika diperlukan dan jaringan alarm-hidup yang selalu siaga mengingatkan kapan saja Anda melenceng, tapi juga memaksa diri Anda untuk tidak pernah menyerah agar tidak mempermalukan diri karena menyangkali janji Anda sendiri di hadapan publik yang mengetahuinya.
Saya sangat serius dengan hal ini. Salah satu alasan utama Anda gagal meraih resolusi tahun lalu (dan sebelumnya!) pasti karena terbiasa merahasiakan resolusi Anda. Akibatnya, Anda bisa dengan leluasa menyabotase diri karena toh tidak akan ada orang yang tahu dengan resolusi tersebut. Taruhan Anda sudah sering melakukan sabotase seperti itu selama ini! Sepanjang Anda masih memiliki celah berbuat demikian, jangan harap bisa meraih resolusi awal tahun apapun.
Lakukan ketiga poin di atas, maka saya berani menjamin Anda akan berada dalam kategori 12% orang yang dinyatakan Richard Wiseman di atas. Dan sekedar tips dan trik pendorong, berikut kutipan tambahan dari tulisan beliau tentang kekuatan dari resolusi:
“Men were 22% more likely to succeed when they set goals for themselves, such as losing a pound a week rather than losing weight in general. In addition, men tended to succeed when they focused on rewards, such as losing weight to become more attractive to the opposite sex. Women were more successful at keeping their resolutions when they told family and friends about their plans. They also responded better to encouragement not to give up if they reverted to old habits temporarily – such as treating a chocolate binge as a setback rather than failure. Telling others increased women’s chance of keeping resolutions by 10%.“
Sabtu, 16 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar