Selasa, 29 Desember 2009

Buddha Berhala!

Kita akan membahas mengenai "berhala" sebagaimana kita sering dicap sebagai begituan.

Apakah Berhala itu?
berhala merupakan konsep pemujaan kepada sesuatu kekuatan(force) yang tidak kita ketahui namun kita sembah dan akhirnya menjadikan dia sebagai Yang Tertinggi Yang Dapat Menyelamatkan Semua Orang dan akhirnya manusia terjerat dengan ritual-ritual yang kadang sampai mengorbankan nyawa. dalam istilah,manusia diperbudak oleh kepercayaan akan kekuatan yang ia tidak tahu.

Darimanakah asal konsep Berhala?
Ketika manusia mulai memperhatikan gejala alam dan akhirnya mengidentifikasi mereka sebagai personifikasi alam disaat itulah pemujaan dimulai.Zaman purba mengenal adanya interpretasi kekuatan alam seperti petir,gempa bumi,gunung meletus, angin topan dan berbagai gejala yang akhirnya dianggap bahwa sejumlahkekuatan pasti menyebabkan terjadinya hal itu ,marilah kita sembah.
Konsep paganism merupakan konsep awal yang disempurkan,contohnya bisa terlihat dari zaman Yunani mengenal adanya dewa yang dihubungkan langsung dengan berbagai kejadian seperti Zeus mengendalikan petir. seiring perkembangan waktu, manusia mulai memuja idol-idol yang seperti ini. di setiap tempat di dunia pasti akan memiliki pemujaan hal yang sama.
Perkembangan paganism termasuk didalamnya penyembahan dewa dewi(god and goddess), mengidolakan sebuah fenomena sebagai pemujaan(cth:dewi bulan,dewa matahari,dewi kecantikan,dewi kesuburan) dan terakhir menggunakan/meminjam kekuatan darinya.

Penggunaan term 'berhala'
Setelah zaman golden age dimulai,pandangan Theistik mulai muncul dengan mengangkat semua gejala/fenomena berasal dari Satu Jiwa yang dipersonifikasikan sebagai Tuhan. hanya ada satu Tuhan dan semua kehidupan di dunia berasal darinya.jadi dia bertanggungjawab untuk menciptakan kemudian melindungi serta menjatuhkan hukuman.
Istilah berhala digunakan oleh Yahudi pertama kalinya sebagai agama Theistik tertua di dunia. Pada saat Yes Us mulai mengajarkan pandangan Karesten,dipopulerkanlah term'berhala' dengan mengusung 10 Larangan dari Tuhan yang salah satunya adalah dilarang mengidolakan tuhan lain selain Tuhan.
Hal ini berpengaruh pada sistem paganism yang telah ada di sekitar tempat tinggal Yes Us karena saat itu mereka menggunakan persembahan patung.
Hal ini juga berpengarahu langsung kepada penyebaran agama Islam yang merupakan agama theistik.

Pandangan Buddhism mengenai Berhala.
Buddhism dikenal dengan patung Buddha dan dewa dewi yang biasanya ada di vihara ataupun altar rumah. Buddhism berangkat dari India yang mengenal banyak dewa - dewi.
Sang Buddha menjelaskan kepada kita bahwa penyembahan dewa dewi sesungguhnya adalah karma baik karena kita menghormati mereka yang bercahaya(deva = yang bercahaya) namun mereka juga berada didalam alam sengsara. apa yang dimaksud menyembah dewa dewi sesungguhnya hanya dibatasi sampai menghargai mereka yang memiliki perjuangan sampai terlahir di alam bahagia,hal ini patut kita contoh,dan Sang Buddha membabarkan jalan untuk terlahir sebagai Deva.

Setelah Buddha parinibbana, dibuatkan patung Buddha untuk dapat selalu mengenang Buddha,meneladani sikap postur dari figur Buddha,muncullah beragam bentuk patung Buddha,yang paling common kita jumpai adalah posisi meditasi dengan bentuk tangan memutar roda Dhamma.Beberapa versi cerita menceritakan bahwa seorang naga bertanya kepada Sang Buddha,jikalau Sang Buddha parinibbana,mereka harus menghormat kemana,lalu Sang Buddha menapakkan kakinya di tanah dan membentuk jejak kaki. Sang Buddha kembali menjelaskan bahwa jangan menganggap sebagai objek pemujaan namun sebagai objek penghormatan, meneladani seluruh sikap dan belajar untuk mencapai Nibbana.

Jadi kembali lagi bahwa Buddhism tidak mengangkat patung sebagai sentral puja-puja namun seabgai figur teladan yang menunjukkan Sang Buddha telah terlahir di dunia dengan DhammaNya yang Agung yang bisa kita selami dengan kebijaksanaan dan Sangha ,tempat kita belajar.
"Ingatlah Oh Para Bhikkhu,ketika kamu mengingat Buddha,ingatlah Dhamma,ketika kamu mengingat Dhamma,ingatlah Sangha,ladang kebajikan dan ketika kamu mengingat hal ini semua,kekhawatiran tidak akan muncul dalam dirimu."

Konklusi :
Seorang Buddhist bukanlah seorang penyembah sesuatu kekuatan yang tidak ia ketahui, karena patung Buddha adalah sebuah figur teladan,figur positif yang selalu mengingatkan kita pada Jalan yang Benar. Sang Buddha melalui Dhammanya telah mengajarkan dengan sempurna pengetahuan mengenai Jalan menuju Nibbana.Marilah kita meneladaninya dengan kebijaksanaan dan cinta kasih.

Term berhala hanya akan efektif bila ditujukan kepada penyembahan sebuah kekuatan yang tidak kita ketahui dan akhirnya kita diperbudak oleh pemikiran akan adanya kekuatan itu. Buddhisme sama sekali menolah pemikiran aneh karena tidak membawa perkembangan batin yang baik. patung buddha sendiri bukan objek sesembahan karena kita mengenal konsep Kamma yaitu bahkan ketika kamma buruk kita berbuah,tidak ada satu kekuatanpun yang sanggup menolong kita keluar kecuali kita berbuat lebih banyak kamma baik.

Senin, 28 Desember 2009

APAKAH SEORANG ARAHAT BISA MELANGGAR VINAYA?

[Dari note HUDOYO HUPUDIO: "Apa Gunanya Sila?" --
HUDOYO HUPUDIO: Topik ini menarik dan sangat penting, karena menyangkut batin seorang yang bebas atau yang tengah menuju pembebasan. Oleh karena itu saya angkat menjadi thread tersendiri di Notes saya dengan judul: "Apakah Seorang Arahat Bisa Melanggar Vinaya?"]

=============================================

XU JERRY:

Pak Hud,
Nanya.. Koq Arahat spt YM Anuruddha masih harus ditegor Sang Buddha dan mematuhi vinaya yah? Gara2nya sih bermalam di tempat seorang wanita dalam sebuah perjalanan. Dan malamnya digoda oleh wanita tsb yg terpesona ketampanan YM Anuruddha. Oleh kejadian itu, Bhante Anuruddha ditegor dan vinaya terkait hal itu dikeluarkan.

Mohon pencerahannya. :)


HUDOYO HUPUDIO:

Apakah Anuruddha sudah arahat --atau setidak-tidaknya anagami-- ketika peristiwa itu terjadi? Kalau sudah arahat, saya rasa peraturan vinaya ybs dikeluarkan untuk ditaati oleh para bhikkhu yg datang belakangan.

Saya rasa, sekalipun Anuruddha sudah arahat, ia tetap harus menaati vinaya itu, agar:
1) menjadi contoh bagi bhikkhu2 yg lain;
2) tidak menimbulkan skandal di masyarakat (sekalipun ia sendiri tidak mungkin lagi melakukan parajika).


VIJAYA PUTTA BHANTE:

Namo Buddhaya,selama orang belum menyeberangi sungai rakit masih diperlukan, kalau sudah berada di seberang tinggalkanlah rakit ke tepian.Tidak tergantung kepada kitab suci,langsung menuju ke hati Buddha.


HUDOYO HUPUDIO:

<>

Perumpamaan tentang rakit & konsep "Hati Buddha" juga tercantum di dalam kitab suci. Jadi, jangan bergantung pada kedua konsep itu.

***

<>

Pada dasarnya Hui Neng menyanggah perumpamaan rakit: "Pantai seberang itu ada di sini sekarang; jadi tidak perlu menyeberang menggunakan rakit."


VIJAYA PUTTA BHANTE:

@Pak Hud,tdk bergantung kepada kedua konsep itu,demikianlah adanya. Akan tetapi untuk menerangkan permasalahan ini kita mau tdk mau masih terjebak pada konsep kata-kata.

@Pak Hud,pantai seberang ada di sini sekarang tak perlu menggunakan rakit,demikianlah adanya karena Hui neng sdh di Pantai seberang,bagaimana orang yg belum di Pantai Seberang? Tentu rakit masih diperlukan,asalkan disadari jgn melekat kpd sarana rakit tsb,sadhu3x


HUDOYO HUPUDIO:

@Vijja Putta Bhante: <>

Orang yang MERASA belum berada di pantai seberang itu disebabkan karena matanya tertutup debu; disebabkan karena ia tidur nyenyak & bermimpi ingin pergi ke pantai sebarang dan membutuhkan rakit untuk pergi ke pantai seberang.

Maka orang yang tercerahkan, seperti Hui Neng, bukannya memberikan rakit, melainkan justru membagi pemahamannya sendiri.

Dalam lomba menulis puisi yang diadakan oleh Hongren, Patriark Ke-5, untuk mencari penggantinya, saingan Hui Neng, Shenxiu, bhiksu senior yang banyak pengikutnya, menulis:

"Tubuh ini adalah Pohon Bodhi,
batin seperti cermin yang berdiri cemerlang.
Rajin-rajinlah menggosok cermin sepanjang waktu,
jangan biarkan debu melekat."

Lalu Hui Neng menanggapi dengan puisinya:

"Bodhi bukanlah pohon,
batin bukanlah cermin yang berdiri cemerlang.
Karena segala sesuatu pada dasarnya kosong,
di mana debu bisa melekat?"

菩提本無樹,
明鏡亦非台;
本來無一物,
何處惹塵埃?

Pada dasarnya Hui Neng hendak berkata: "Bangunlah! Jangan bermimpi terus! Tidak ada pantai seberang!" ("Cermin itu sudah cemerlang; tidak ada debu melekat. Untuk apa harus digosok setiap hari?")

Nah, melihatkah Anda bahwa 99% umat Buddha di dunia ini berpegang pada puisi Shenxiu, dan hanya 1% umat Buddha memahami puisi Hui Neng dalam batin masing-masing? Yang satu persen itulah pemeditasi vipassana yang benar.

Ini sesuai dengan pernyataan Sang Buddha sendiri: "Telah kutemukan Kebenaran yang mendalam, yang amat sukar terlihat, amat sukar dipahami, yang menenteramkan dan halus, tidak mungkin dicapai hanya dengan pemikiran, dan hanya terlihat oleh orang yang bijak.
Tetapi, dunia ini terbiasa dengan kenikmatan, menyenangi kenikmatan, asyik dengan kenikmatan. Sesungguhnya orang-orang itu sangat sukar memahami hukum sebab-akibat yang saling bergantungan; mereka tidak mengerti akhir dari segala yang terbentuk (badan & batin sendiri), pelepasan dari setiap dorongan untuk lahir kembali, memudarnya keinginan, tercapainya pembebasan, kepadaman, nibbana.
Namun, ada orang-orang yang sudah tipis debu yang menutupi matanya; merekalah yang akan memahami kebenaran."


VIJAYA PUTTA BHANTE:

@Pak Hud,bukankah Hui neng yg memberikan pemahaman itu juga masih menggunakan rakit(memberikan pemahaman dgn kata2 itu juga adalah rakit,medianya adalah kata2) lalu Pak Hud yang memberikan MMD bukankah ini juga adalah rakit? Dan terakhir kita yg sdg berdiskusi ini,bukankah juga sedang menggunakan rakit?

Sadhu3x


HUDOYO HUPUDIO:

@Vijaya Putta Bhante:
Harap tidak mencampuradukkan kata-kata (konsep, ajaran, doktrin agama, filsafat dsb) dengan Kebenaran. Kata-kata tidak pernah bisa mewakili atau menggantikan Kebenaran sepenuhnya; Kebenaran tidak bisa diwadahi di dalam kata-kata. Bahkan Kebenaran tidak bisa diwadahi dalam doktrin Buddhisme sekalipun.

Namun, kata-kata diperlukan & digunakan oleh orang yang telah merealisasikan Kebenaran untuk mengkomunikasikan Kebenaran kepada para 'pejalan' di belakangnya.

Buddha Gotama mengajarkan "Empat Kebenaran Mulia" --suatu doktrin, ajaran-- untuk mengkomunikasikan Kebenaran, yang menurut beliau sendiri "Sangat dalam, sangat halus, tidak dapat dipahami hanya dengan pemikiran, hanya bisa dipahami oleh orang yang arif." Tetapi doktrin "Empat Kebenaran Mulia" tidak bisa menggantikan Kebenaran yang ada di dalam batinnya, yang hanya bisa dicapai dengan meditasi vipassana.

Begitu pula Bodhidharma, Hui Neng, Krishnamurti, dll menggunakan kata-kata untuk mengkomunikasikan Kebenaran --yang tidak bisa diwadahi dengan kata-kata-- kepada orang yang berminat untuk mencapai apa yang mereka capai.

Kata-kata hanyalah sekadar TELUNJUK, yang menunjuk kepada REMBULAN, Kebenaran. Tapi banyak manusia mencampuradukkan 'telunjuk' dengan 'rembulan', mengira bahwa 'telunjuk' (doktrin) adalah 'rembulan' (Kebenaran).

Nah, semua ini disadari di dalam praktik vipassana (yang benar). Di dalam kesadaran vipassana, semua kata-kata, konsep, ajaran (bahkan ajaran "Empat Kebenaran Mulia") dilepaskan sebagai bentuk-bentuk pikiran, sebagai 'yang dikenal' (vinnatam).

Hanya di situlah muncul "apa yang tak terlahirkan (ajatam), tak terbentuk (akatam), tak berproses (abhutam), tak tersusun (asankhatam)."

Agar ITU muncul, maka semua 'yang dikenal' (vinnatam) --termasuk doktrin "Empat Kebenaran Mulia"-- harus runtuh.

Itulah ajaran vipassana yang tertinggi dari Buddha Gotama. (Bacalah: "Pengantar Mulapariyaya-sutta",
http://www.facebook.com/home.php#/note.php?note_id=111268781639 dan
"Mulapariyaya-sutta", http://www.facebook.com/home.php#/note.php?note_id=111295576639


THOMAS Q PADANG:

Keserakahan, kebodohan, dan kebencian - semuanya berasal dari ilusi bernama aku (atta). Aku dipadamkan dalam vipassana.

Sila yang dikenal sebagai sila, tidak memadamkan aku, maka ada unsur keserakahan, kebodohan, dan kebencian dalam melaksanakan sila sebagai sila.

Jadi di sini sila tidak pernah bekerjasama dengan vipassana untuk tujuan yang sama. Sila ada untuk tujuannya sendiri, dan vipassana ada untuk "tujuan"nya sendiri. Dengan ber-Sila bisa reinkarnasi ke surga. Tapi kalau mau padam, seseorang akan ber-Vipassana.

Jadi *praktik laku* dalam vipassana tidak sama dengan sila, dimana sila memilah ini laku baik dan buruk sementara laku vipassana adalah laku berkesadaran, atau pada yg sudah padam (nibbana) - tiada pelaku dan laku

baik/buruk, semata hanya gerak laku.

Apakah gempa baik atau buruk? Apakah mengebom baik atau buruk? Hal bisa jadi baik atau buruk, kalau ada si pelaku, tanpa si pelaku yg ada hanya gerak laku yang disebabkan oleh sebab-sebab lainnya kecuali sebab yang datang dari si pelaku (yang sudah tiada/padam). Bagi si pengamat, jelas ada baik atau buruk - sampai si pengamat juga padam. Segalanya semata hanyalah gerak dan laku, tanpa pelaku. Paticca samuppada, anatta.

Laku baik dan buruk yg dilekati sama-sama menghambat vipassana. Ibarat mistar ukur, plus seratus dan minus seratus sama jauhnya ke titik nol. Minus satu lebih dekat dibandingkan plus sejuta. Maka Angulimara bisa mencapai pencerahan jauh lebih cepat dibandingkan Ananda yg bertahun-tahun hidup dg sila bhikku. Kuncinya kelekatan pada baik atau buruk itu.

Dua orang bhikku menyeberang sungai. Bhikku pertama menggendong perempuan seksi menyeberang sungai. Berjam-jam setelah itu, bhikku kedua bertanya dg gusar mengapa bhikku pertama tadi melanggar sila. Bhikku pertama menjawab, saya sudah tinggalkan perempuan itu di seberang sungai berjam-jam yg lalu, kau masih membawanya sampai sekarang. Itulah *Kelekatan*.


XU JERRY:

@Hudoyo: <>

Sudah arahat, memang kemungkinan besar vinayanya utk para bhikkhu yg masih belum mencapai minimal anagami. tapi Bhante Anuruddha sendiri ditegur Sang Buddha koq Pak Hud..

Memang demikianlah fungsi vinaya diturunkan oleh Sang Buddha, sbg sila yg harus dilaksanakan utk menjaga kesempurnaan baik pengetahuan maupun tindak-tanduk, vijjacaranasampanno.

Kalau kita perhatikan terkadang ada bbrp orang yg scr pengetahuan luar biasa, tp tidak demikian dengan tindak-tanduknya, misalnya terkait skandal dsb. Sedangkan ajaran Sang Buddha adalah bagaimana mencapai kebenaran hakiki tp disaat yg sama tetap menjaga sikap yg berimbang terhadap kebenaran konvensional yg ada di masyarakat, nilai2 moral dan etika. Jadi dhamma sbg sarana penuntun menuju kesempurnaan pengetahuan, sementara vinaya sbg sarana penuntun kesempurnaan tindak-tanduk.


HUDOYO HUPUDIO:

@Jerry: <<... tapi Bhante Anuruddha sendiri ditegur Sang Buddha koq Pak Hud.. >>

Peristiwa itu dijadikan 'trigger' (dadakan) oleh Sang Buddha untuk menetapkan sebuah peraturan Vinaya yang melarang seorang bhikkhu berduaan saja dengan seorang wanita.

Arahat Anuruddha ditegur oleh Sang Buddha, tetapi ia tidak melanggar Vinaya, oleh karena ketika peristiwa itu terjadi peraturan yang bersangkutan belum ditetapkan oleh Sang Buddha. Kalau suatu peraturan belum ada, belum ditetapkan, tidak bisa dikatakan ada orang yang melanggarnya.

Sekarang, setelah peraturan vinaya yg bersangkutan ditetapkan ("Tidak boleh berduaan saja dengan seorang perempuan."), seandainya ada seorang arahat, yang sudah tidak punya aku lagi, yang sudah bebas (dan kita tidak tahu apakah orang itu seorang arahat atau bukan), karena suatu alasan yang penting berada berduaan saja dengan seorang perempuan, apakah arahat itu "melanggar vinaya"?

Tergantung dilihat dari sudut mana memandangnya: dilihat dari sudut pandang pihak ketiga (masyarakat luas), yang belum arahat, tentu disebut "melanggar vinaya". Tetapi bagi arahat itu sendiri, pengertian "melanggar vinaya" atau "menaati vinaya" sama sekali tidak relevan lagi.

Sebagai latihan berpikir, ada baiknya merenungkan situasi hipotetis berikut: Seandainya pada suatu hari Sang Buddha menyeberangi sebuah sungai yang deras arusnya, lalu ada seorang perempuan yang ingin menyeberang pula karena sesuatu hal yang mendesak, apakah kira-kira Sang Buddha akan menolak menggendong perempuan itu berdasarkan alasan bahwa itu melanggar Vinaya? :)

***

<>

Pengertian seperti itu hanya relevan bagi bhikkhu yang masih memiliki kesadaran-aku, yang masih belum bebas. Seorang bhikkhu yang bebas (arahat) tidak lagi berpikir untuk menaati Vinaya dan tidak lagi berpikir untuk melanggar Vinaya. Singkatnya, pengetahuan, pengalaman dan peraturan tindak-tanduk (sila, vinaya) tidak lagi relevan bagi seorang yang sudah tidak punya aku lagi, yang sudah bebas. Setiap tindakannya muncul secara spontan, begitu saja, sesuai kebutuhan saat itu, tanpa memikir-mikir apakah itu "melanggar vinaya" atau tidak, sebagaimana diceritakan dalam dongeng berikut ini.

Dongeng terkenal tentang dua orang bhikkhu yang menyeberangi sungai yang deras, di mana bhikkhu yang satu menolong menyeberangkan seorang perempuan dengan menggendongnya, sedangkan bhikkhu yang lain mengecam keras perbuatan bhikkhu pertama sebagai pelanggaran vinaya, mengandung kebenaran-kebenaran psikologis, yang mendasari kebutuhan akan sila bagi seorang yang belum bebas, yang masih punya aku, di satu pihak, dan ketidakmelekatan kepada sila, bagi seorang yang tidak punya aku lagi, di lain pihak.

***

<>

Pengetahuan & pengalaman sebanyak apa pun tidak ada kaitannya sama sekali dengan pembebasan, dengan lenyapnya aku. Jadi kasus ini tidak relevan dengan topik yang kita bicarakan di sini.


<>

Yang penting adalah mengamati aku/ego sampai aku itu padam. Untuk itu setiap usaha si aku untuk MENCAPAI ini-itu akan menghalanginya dari pembebasan. Selama si pemeditasi vipassana berpikir: "AKU harus menaati Sila; AKU harus bermeditasi vipassana; AKU harus memiliki Kebijaksanaan; AKU akan mencapai pembebasan (nibbana), AKU akan menjadi arahat," selama itu pula, akunya tidak akan pernah padam, ia tidak akan pernah bebas, tidak akan pernah mencapai nibbana, dan vipassana-nya macet.


UTPHALA DHAMMA:

Re: NOTE "Sekarang atau Nanti"

Romo, saya mengerti bila seseorang yang telah mencapai Kearahatan atau Kebuddhaan, yang tidak lagi melihat "Aku" di mana-mana, tidak tergoncangkan oleh sukha dan dukkha.

Seperti "YA Angulimala" menerima buah karma buruknya atau "Sang Buddha" yang sewaktu difitnah oleh Cinca mengatakan pada murid-muridnya bahwa itu adalah buah karma buruknya pada kehidupan lampau karena meledek seorang paccekka buddha; buah karma sebenarnya tidak menimpa beliau-beliau, bahkan juga tidak menimpa kita yang awam atau makhluk-makhluk sebagai pribadi. Pembuat kejahatan di masa lampau dalam contoh di atas bukan "diri YA Angulimala" juga bukan "diri Sang Buddha".

Secara teori memang dikatakan bahwa selama ada Avijja sankhara ini akan terus bergerak membuat karma baik maupun buruk. Buah karma tersebut akan terpatri bak kode genetik alami dalam sankhara (yang bukan diri). Bila saatnya berbuah, buah atau vipaka tersebut akan menimpa sankhara dan bentukan-bentukannya yaitu vinnana, rupa, sanna dan vedana. Jadi hukum sebab akibat berlaku semata-mata sebagai proses alam dan sejalan dengan konsep anatta.

Hukum karma bila dilihat dengan cara seperti ini akan sangat masuk akal daripada kita melihatnya dengan mengikutsertakan pandangan tentang "Aku/Atta". Misalnya mengapa peristiwa tragis pada YA Moggalana di akhir hayat beliau dapat terjadi dan sengaja tidak dicegah oleh beliau melalui kekuatan batinnya. Hal ini juga menjelaskan mengapa seseorang baik pria maupun wanita yang alim, saleh, dengan batin cukup bersih, bisa mendapat perlakuan yang sangat tidak wajar atau tragis, dan sebaliknya. Ini semua karena hukum karma berlaku untuk fenomena mental dan jasmani semata, bukan berlaku untuk "si Aku/Atta".

Seperti halnya energi yang diberikan pada bumerang, angin dan konstruksi bumerang itu sendiri lah yang membuat dia akan kembali ke posisi dia dilemparkan, bukan ke orang yang melemparkannya dan bumerang tersebut tak kan peduli bila orang yang melemparnya telah lari bergeser jauh karena takut terkena bumerang tsb.

Itu pemahaman saya, Romo. Mohon tanggapan, koreksi dan masukan-masukannya.

Hormat Saya,
Utphala


HUDOYO HUPUDIO:

Rekan Utphala Dhamma,

<>

Hukum Karma dan Paticca-samuppada jangan dipisahkan dari 'aku/atta', si pembuat perbuatan & si penerima akibat perbuatan. Kedua hukum itu hanya berlaku SELAMA masih ada 'aku/atta'. Begitu 'aku' lenyap untuk selamanya (arahat), kedua hukum itu tidak berlaku lagi.

Kalau Hukum Karma dilihat terlepas dari ada atau tidak-adanya 'aku/atta', maka mudah sekali timbul pengertian-pengertian yang absurd, seperti pernyataan "Arahat Angulimala, Arahat Moggalana, Buddha menerima akibat karma buruknya di masa lampau."

Tokoh-tokoh itu dulu mempunyai kesadaran-aku (atta) masing-masing. Begitu kearahatan tercapai, KESADARAN-AKU mereka LENYAP.

Nah, terlepas dari apa yang terjadi pada 'nama-rupa' mereka kemudian (yang di mata orang awam dikatakan "menerima akibat karmanya"), sebetulnya SIAPAKAH SI AKU yang "menerima akibat karma" itu? Tidak ada!

*****

<>

Maaf, dalam paragraf di atas saya melihat ada empat pernyataan, tiga di antaranya "kacau" akibat tidak diperhatikannya FAKTA ada atau tidak-adanya 'kesadaran-aku' dalam batin tokoh yang dibicarakan:

(A) Tidak benar; Arahat Angulimala maupun Buddha Gotama tidak lagi menerima akibat karma buruk yang diperbuat oleh 'puthujjana Angulimala' atau 'Bodhisattva Siddhartha Gotama' di masa lampau, karena sekarang tidak ada lagi kesadaran-aku Arahat Angulimala maupun Buddha Gotama yang menerima akibat karma buruk di masa lampau itu;

(B) Benar; itulah intisari pemahaman dari thread saya;

(C) Tidak benar; karena kita sebagai puthujjana masih mempunyai 'kesadaran-aku' -- 'Aku' itulah yang membuat karma dan memetik buah karma;

(D) Tidak benar; pembuat kejahatan di masa lampau ADALAH 'diri/aku puthujjana Angulimala', 'diri/aku bodhisattva (yg kelak menjadi Buddha Gotama)'.

Ketika Angulimala maupun Siddhartha Gotama mencapai kearahatan, pada titik itulah lenyap 'kesadaran-aku' mereka. Di mata mereka sendiri TIDAK ADA LAGI 'aku/diri/atta Angulimala', 'aku/diri/atta Siddhartha' dsb, sehingga tidak ada lagi yang membuat karma baru dan tidak ada lagi aku yang menerima akibat karma lama, terlepas dari APA PUN YANG TERJADI SEKARANG pada nama-rupa (badan & batin) yang dulu mereka pahami sebagai "puthujjana Angulimala" atau "puthujjana Siddhartha"-- sekarang karma & buah karma tidak bermakna apa-apa lagi. Kalau ada pengalaman yang menurut tafsiran orang awam dinamakan "akibat karma buruk dari masa lampau", MEREKA tidak memahaminya sebagai 'akibat karma buruk dari masa lampau', karena TIDAK ADA LAGI AKU SEBAGAI PENERIMA 'akibat karma'. Persis sama dengan pengertian bahwa para arahat itu TIDAK LAGI BERBUAT KARMA BARU, karena TIDAK ADA LAGI AKU sebagai pembuat 'karma baru'.

DI DALAM KESADARAN SEORANG ARAHAT TIDAK ADA LAGI MASA LAMPAU DIRINYA, KARENA DIRINYA TIDAK ADA LAGI.

*****

Kira-kira bisa dipahami?

Salam,
Hudoyo


UTPHALA DHAMMA:

Terimakasih banyak atas uraian dan kesediaan waktunya, romo.

Hormat Saya,
Utphala

Kicauan Perkutut dan Ocehan Boss

Seorang ayah pada hari minggu pagi sedang menikmati hobynya yaitu main burung perkutut,"Tur ku tut ku tut ku tut,tur ku tut ku tut ku tut." demikianlah burung tersebut bersiul membuat senang seorang laki-laki yang baru bangun dan masih pakai sarung dan kaos oblong.

Tiba-tiba di rumah telepon berbunyi,dan anak laki-lakinya yang masih berumur 8 tahun pun mengangkatnya,"Halo ini Ciapa?:" Kata anaknya.

"Oh anaknya Pak Indra ya!"

"Iya Om! Om mau cari papa ya?"

"Iya bilangkan sama Papa,bosnya dari perusahaan panggil ya! Baik Om! Anak tersebut meletakkan telepon dan ke belakang menjumpai Papanya,"Papa! ada telepon dari om-om,katanya mau cari Papa!"

Saat itu Papanya lagi asyik dengan burung perkututnya,"Tur ku tut ku tut ku tut,tur ku tut ku tut ku tut," Lalu Papanya menjawab dengan entengnya,"Ha! mengganggu orang saja,bilangkan Papa tidak ada di rumah! sana!"

Lalu Sang anak kembali ke ruang tamu dan mengangkat telepon kembali," Halo Om! Papa saya bilang ,Papa tidak ada di rumah!"

"Ha Apa!" Sang Bos menegaskan kembali takut dia salah pendengaran.

"Iya Om,Tadi Papa saya bilang Papa tidak ada di rumah!" Sang Bos pun naik pitam dan berpesan kepada Sang anak,"Bilang sama Papamu,kalau Papamu pembohong,Ini Bosnya Pak Hendra,besok kalau masuk kerja nanti gajinya saya potong! Cepat bilang sama Papamu!"

Sang Anak berlari-lari lagi ke belakang menjumpai ayahnya,"Papa! Tadi Om Hendra bilang Papa pembohong dan gajinya mau dipotong besok kalau Papa masuk kerja..."

"Ha Apa!" Sang Ayah baru menyadari kesalahannya,"Tadi kamu bilang apa sama Om Hendra? anaknya menjawab,"Saya bilang yang seperti Papa bilang!"

"Iya tapi kamu ngomongnya gimana?"

"Saya bilang;Papa bilang Papa ngak ada di rumah!"

"Aduh! Celaka! (sambil memegang keningnya),jadi kamu bilang Papa yang bilang? Aduh! mati Aku! mati aku!" Sang papa berjalan mondar-mandir sambil berpikir bagaimana untuk menghadapi sang bos besok,tiba-tiba burung perkutut berbunyi lagi,"Tur ku tut ku tut ku tut ,tur ku tut ku tut ku tut," Kali ini suara burung perkutut bagi Sang Ayah tidak merdu lagi,bahkan sang ayah menyepak sangkar burung perkutut,sambil berteriak,"Diam...!!!

Panah Siapa?

by : Kiki

Suatu kisah dalam Riwayat Hidup YMS Gotama Buddha, ada cerita: (disadur secara bebas dan singkat)

Seorang Jendral perang terkena panah waktu bertempur. Penolong berdatangan akan mencabut anak panah dan mengobatinya.

Sang Jendral berkata: "Jangan cabut dulu anak panah ini, cari tahu dulu panah siapa ini?
Anak buahnya mencari tahu. Setelah ketahuan, diberitahukanlah anak panah itu dilepas oleh siapa. Lalu penolong akan segera mencabut lagi.
Sang jendral berkata: "Jangan cabut dulu anak panah ini, yang berada pada anak panah ini racun apa?
Anak buah mencari tahu lagi. setelah tahu mau memberitahukan kepada Sang Jendral.
Tapi sayang, Sang Jendral telah tewas.

Banyak Sang Jendral dalam kehidupan sekarang. Orang baru mau dengar ucapan seseorang setelah tahu siapa dia? Kalau dia Orang termanshur, Orang Kaya, Orang Berpangkat dan sejenisnya, baru mau didengar.

Selamat kepada orang yang tidak termasuk dalam kategori itu karena dia akan mempunyai kesempatan untuk membina diri lebih banyak.

LEVEL KEBAHAGIAAN

by : Bhante Dip

Kemarin malam kita berdiskusi dengan kawan-kawan baru tentang 'level kebahagiaan'...dan salah seorang mengeluhkan tentang kondisi dirinya yang kurang dalam keuangan......

Tiba-tiba saya langsung teringat dengan seorang kawan lama, kawan yang sudah saya anggap sebagai saudara saya sendiri......dan cerita ini adalah obrolan yang terjadi lebih dari 15 tahun lamanya...

Setelah sekian lama pacaran, akhirnya dia didesak untuk segera menikahinya, namun sejujurnya dia belum siap, mengingat ada perasaan minder dengan cewek calon isterinya, dia tidak punya uang tabungan karena gaji yang didapat hasil dia bekerja tidaklah seberapa besar, pendidikannya pun kalah - dia hanya tamatan SMA dan calonnya adalah seorang sarjana ekonomi....dia tidak bisa mempersiapkan sebuah rumah....demikian dia berkeluh.

Saya nasihati dia: "Jangan gelisah Jim, bukan hanya karena kamu mempunyai ketampanan, tapi kamu adalah orang yang sudah sangat saya kenal, kamu mempunyai KEJUJURAN, KERENDAHHATIAN, KEDERMAWANAN, KETULUSAN, LOYALITAS, SABAR DAN SUKA MENOLONG... saya bangga mempunyai teman seperti kamu, masuki saja perkawinan itu..kelak kamu akan bahagia, menjadi orang sukses! kamu adalah orang baik, dan teruslah praktikkan Dharma agar menjadi bijaksana.......dibandingkan dengan kebijaksanaan, maka harta benda dan pengetahuan duniawi itu tidaklah seberapa.

BELAJAR DARI PENGALAMAN

by : Bhante Dip

Telapak kaki ini pernah tertusuk oleh sebuah paku berukuran besar...saat itu dengan TANPA RAGU saya memilih segera pergi ke dokter untuk memohon disuntik anti tetanus...kenapa? karena pada saat saya merasakan sensasi sakitnya, saya LANGSUNG teringat pada salah seorang pekerja di rumah dulu yang juga mengalami kejadian yang sama, namun karena 'dia kalah oleh rasa takutnya sendiri manakala dia harus berobat ke dokter, maka pekerja kesayangan mama saya itu memilih untuk diurut saja.........wal'hasil, dua minggu kemudian karat yang ada pada paku itu telah menyebar pada pembuluh darah di tubuhnya , dan bang 'Dirja' pun meninggal dunia.

Saudara, sudah hampir setahun ini, saya sering mengunjungi Arama Maha Buddha, Pusat Pelatihan Meditasi yang sedang dibangun di Makassar....seperti yang sudah Anda ketahui, kondisi 'lapangan' yang masih berantakan menjadikan 'ranjau-ranjau paku' itu sangat rentan bisa mengenai kaki JIKA kita lengah tidak memperhatikan langkah kaki.

Ya benar, ADA BANYAK HAL YANG BISA MEMBUAT PERHATIAN KITA MENJADI LENGAH, seperti halnya yang dialami oleh seorang buruh yang tadi siang kakinya tertancap paku...lalu, dengan TANPA RAGU, saya angkat kakinya, saya bersihkan dan beri obat...sambil saya nasihati: "Uangnya gunakan untuk berobat ke dokter, jangan diurut nanti bisa meninggal!"

Akhirnya, apa yang ingin saya sampaikan dalam catatan ini?

Bersungguh-sungguhlah dalam mempelajari pengalaman 'dukkha' yang dialami oleh diri sendiri, kemudian, selaraskanlah kembali dengan pengalaman hidup dari mereka yang telah ahli dalam mencermati hidup, kepada mereka yang senantiasa menjaga dan mengembangkan perhatian benarnya, agar apa yang akan kita lakukan di kemudian hari adalah sesuatu yang benar-benar kita telah pahami baik - buruknya, (menjadi malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat yang kita lakukan).

Menjadi mengertilah tentang BANYAK HAL itu, agar kita pun menjadi semakin memahami alasannya - mengapa kita harus berlatih mengembangkan perhatian kita.

Semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan dan sebab-sebab yang menjadikannya :)

AWAL INDAH YANG MENGAWALI

by : Bhante Dip

Menikmati hidup di 'awal' hari yang baru..dengan tubuh yang 'sehat' dan batin yang 'segar'... mendengarkan suara kicauan burung, merasakan hangatnya matahari pagi, melihat kilauan embun di dedaunan dan menghirup udara yang begitu sejuk.........aah... awal yang indah, semoga akan menghantarkan tengah, dan akhir yang juga semakin membahagiakan….itulah harapan, sebuah niat telah muncul!

Sarapan….yang berarti mengisi sesuatu yang harus diisi….mengharuskan kita juga mengisi pagi ini dengan sarapan untuk tubuh dan juga untuk batin………keseimbangan sangat dibutuhkan untuk menjelang tengah (siang) dan akhir (malam) pada hari ini…menjalani kembali hari-hari yang tidak diketahui apa yang akan terjadi…yang melelahkan….’mempersiapkan sesuatu perjalanan yang akan ditempuh dengan cermat’ adalah ciri orang bijak.

Bangunkan dan sadarlah!
Bangunkan tubuh yang mudah dikuasai kemalasan…. dan,
Sadarilah batin yang mudah diliputi kelengahan…

Semoga kita semua dapat mempertahankan kebahagiaan yang telah kita peroleh.

CINTA MENURUT SEORANG BHIKKHU

by : Bhante Dip

Cinta adalah suatu kata yang dipakai untuk menunjukkan ada PERASAAN..yang kadarnya lebih besar daripada suka atau simpati...dalam cinta ada keinginan untuk memiliki, ada cemburu, khawatir dan gelisah di dalamnya…di sana ada ilusi YANG BISA MEMBUTAKAN!

Ada yang mengatakan love is a miracle…namun sebaiknya tidak terburu-buru menyimpulkan cinta sebagai sesuatu yang ajaib, dan indah!…saya pikir, timbul rasa cinta terhadap orang lain adalah hal yang alami dan bisa terjadi pada siapa saja, tidak memandang jenis makhluk, kelamin, bangsa, agama, umur, atapun profesi..… Ada orang yang terberkahi dengan cinta, namun tak sedikit pula ada orang yang seumur hidupnya hanya sibuk mengais-ngais cinta (fenomena ini, RAHASIANYA TELAH DIUNGKAP DENGAN SEMPURNA oleh Ajaran Kebenaran tentang hukum karma dan tumimbal lahir).

Banyak yang tertipu oleh rasa bahagia saat cinta itu datang mengawali….oleh karena itulah, saya ingin kita semua sama-sama mempelajari cinta dengan bijak….MEMAHAMI KENYATAAN...mengetahui seperti halnya rasa benci yang bisa berubah menjadi rasa cinta .........demikian juga, cinta adalah sesuatu yang BISA BERUBAH….menjadi perasaan yang bisa membunuh logika/penalaran/kebijaksanaan.

KENALI CINTA – KENALI DIRI SENDIRI
Karena perasaan cinta ‘yang bisa tiba-tiba muncul itu’, maka bagi mereka yang tidak pernah mengontrol batinnya……..DIA PASTI DENGAN MUDAHNYA TERPERANGKAP….bukan oleh cinta, tapi oleh ketidaktahuannya sendiri tentang cinta………oleh perasaan ‘sesaat’ yang belum diselaminya dengan sungguh-sungguh.

HANYA mendengar suaranya…..HANYA diberi setangkai bunga… HANYA dipuji sedikit saja… HANYA karena kerupawanannya…dan lain-lain….rasa cinta itu berhasil membuainya…tidak aneh juga jika orang-orang yang ada di sekitarnya: orang tua, saudara, guru, teman-teman bahkan pemuka agamanya…..jadi ikut kelimpungan!

Menerima cinta dari orang lain haruslah dengan PENGUJIAN dengan waktu yang cukup.
Menghadirkan cinta kepada orang lain haruslah dengan KESETIAAN yang berkelanjutan.

Sungguh bijak jika cinta bukan muncul dari sesuatu yang dipaksakan….jika berani untuk mengungkapkan rasa cinta maka harus juga bisa memaklumi apapun segala resiko yang mengikutinya…. Yang jelas…janganlah meninggalkan jejak-jejak buruk manakala sudah tidak ada lagi rasa cinta lagi padanya.

JANGAN TAKUT MENDERITA - Berani Hidup!

by : Bhante Dip

Dalam perbincangan sore ini, saya katakan: "Dengan banyak menderita, maka kans masuk sorga lebih gede loh!"....dan teman saya pun segera menjawab: "Tidak mau ah kalau saya harus menderita". Eh, dengerin dulu dong penjelasannya...karena yang saya maksudkan ini adalah jenis penderitaan yang lain punya...................

Saudara-saudara, sebelum saya jelaskan, saya harus akui dulu tentang fenomena yang satu ini.... ternyata, cukup banyak yang mudah terbuai dengan janji-janji yang menawarkan dapat memasuki alam Sorga dengan cara cepat......pertanyaan saya: "Benarkah bisa masuk Sorga tanpa harus menderita dulu???

Saya jadi teringat dengan pengalaman salah seorang ibu bernama Bibiana - Manado.
Suatu hari dia minta ijin kepada saya: "Bhante, bolehkah saya mempelajari ajaran Maitreya?"
Tentu saja saya mengiyakan karena itu adalah hak dia...alasan dia adalah hanya ingin menambah pengetahuan.. sebulan belajar di Davao - Philipina, semua biaya ditanggung - dengan syarat: harus di chiu tao dulu.

Sekembalinya, ci Bi demikian panggilannya, mengatakan "Bhante, setelah saya berdiskusi dengan panditanya, dia mengatakan bahwa untuk bisa masuk Sorga...ya tetap saja, sekalipun sudah di chiu tao, kita tetap harus berbuat baik, tanpa itu kita tidak bisa masuk Sorga". Setelah itu, ci Bi malah jadi semakin yakin lagi dengan Ajaran Sakyamuni...dan dia pun kini menjalani kehidupan sebagai meiji, di Thailand :)

Alm. Ajahn Chah pernah mengatakan: "Ada dua jenis penderitaan....salah satunya adalah jenis penderitaan yang bisa membuat kita keluar dari penderitaan, yaitu penderitaan karena mempraktikkan Dharma..."

Ya, masukilah penderitaan jenis yang itu, karena praktik itulah yang sesungguhnya akan menghantarkan kita ke alam terbahagia....dapat merealisir Nibbana, jelasnya, kita akan menderita karena mengikuti suatu aturan benar, karena menaati disiplin dalam latihan meditasi, yang membuat kita bisa lebih mengenali tentang rangsangan nafsu indera yang menggelitik, tentang kuatnya kemelekatan, tentang itikad jahat yang menghentak, tentang perjuangan melawan kemalasan, keraguan, karena semua itulah yang merupakan PENYEBAB PENDERITAAN YANG SESUNGGUHNYA...pada saat latihan seperti itu, batin kita akan memberontak - menderita.....mengapa? karena batin kita belum terbiasa dengan aturan, dikarenakan batin kita telah lama terlena dengan berbagai kesenangan.

"Memang benar, Dharma/Ajaran Kebenaran, umumnya berisikan hal-hal yang bertentangan dan berlawanan dengan cara berpikir dan kebiasan kita"...Buddha juga mengatakan, bahwa mereka yang semakin banyak merenungi tentang penderitaan, yang merasakan penderitaan, maka merekalah yang akan semakin mengenali Dharma yang Kuajarkan.

Finally, jika batin telah terlatih dalam disiplin...menjadi mental yang sehat dan kokoh..whats next? Sorga itupun hadir, kita masuki tanpa harus meninggal dulu. :)

KENALI JODOH ANDA

Ini adalah tulisan untuk menanggapi pertanyaan seputar APA JODOH ITU.....semoga bermanfaat.

Bicara tentang JODOH adalah membahas pertalian (hubungan) karma 'kuat', yang pernah terjalin di kehidupan-kehidupan lampau. KARMA KUAT yang dimaksud adalah karma hitam atau karma putih yang menyimpan kesan sangat mendalam. Jadi, istilah jodoh bukan hanya berarti ‘seseorang yang jadi pendamping hidup’ saja, tetapi kebersamaan kita dengan makhluk lain, apakah dilewati dengan hari-hari yang menyenangkan atau tidak menyenangkan seperti orang tua/anak/guru/ saudara/ teman/dewa/hantu/hewan peliharaan, semuanya tidak lepas dari yang namanya jodoh/pertalian karma,...termasuk pula apa yang disebut sebagai jodoh karier/usaha, jodoh tempat, dan lain-lain….semua ada ‘sebab karma’ yang menjadikannya.

Sekarang mari kita membahas jodoh dalam arti umum yaitu ‘seseorang’ yang jadi pendamping hidup….Ada yang bertanya “Benarkah jodoh itu tidak kemana-mana?” kalau tidak kemana-mana, apa kemudian kita tidak usah mencarinya?.

Pertama kali, kenalilah dulu apa PENYEBAB suatu karma hingga bisa terjalin menjadi kuat dan terbawa dalam kelahiran kehidupan-kehidupan berikutnya. Sebabnya yaitu KARENA adanya cara pandang yang sama, kebiasaan/perilaku yang sama, dan sifat/karakter yang sama……INTINYA ada pada kemelekatan terhadap unsur-unsur duniawi yang sama!
“Apa memang ada manusia/makhluk yang mempunyai minat dan kesukaan yang sama seperti itu?” tentu saja, sehingga untuk alasan itu pulalah JODOH ITU, ADA! Keterkaitan emosi manusia itu begitu dekat…karena batin lemah maka batin seperti itu sangat mudah terpengaruh!

Selanjutnya, pertanyaan yang banyak muncul adalah…”Kenapa bisa orang tidak ketemu jodohnya? Walaupun sudah berusaha mencari/dicarikan, namun tetap saja tidak ada yang mau…selalu gagal…” Saya banyak tahu tentang kasus ini…dia cantik, baik, pintar,kaya dan kariernya sangat mapan…. tapi tetap tidak ada pria yang mau menyuntingnya. Menjawab tentang ini menurut konsep Buddhis, dikarenakan terhalang oleh kekuatan karma buruk yang begitu kuat, yang dia perbuat dan berbuah di kehidupan sekarang………..

SOLUSINYA, jika batin dia tidak terlalu mempedulikan tentang kemana dan dimana jodohnya, maka kekuatan karma buruk itu dengan sendirinya akan melemah, apalagi jika terus mengembangkan cinta kasihnya, maka kemungkinan untuk bertemu dengan jodoh yang baik, akan bisa dia dapatkan dalam kehidupan yang sekarang juga, walaupun sudah tua. Sebaliknya, jika terus meratapi kondisinya, selalu gelisah bertanya-tanya….itulah yang disebut buah karma buruk yang sangat menyedihkan.

Semoga kita tidak menderita karena ketidaktahuan!

Catatan Tambahan:
Pengertian jodoh menurut ajaran Buddha tidak diatur oleh suatu makhluk apapun! Kalaupun ada yang ikut campur, itu hanya sekadar membantu…TAPI bukan dia yang menentukan ‘siapa’ jodoh kita....DAN
JIKA KITA MENDERITA DENGAN ORANG YANG KITA SEBUT JODOH sebagai 'pemberian' DARI DIA....Saya sarankan Anda harus mengenali dulu siapa jodoh Anda itu dengan baik....artinya pula, Anda harus benar-benar mengenali watak Anda sendiri.

ANDA PUN BISA JADI JUARA!

by : Bhante Dip

Hasil perlombaan memasak segera diumumkan, setelah semua masakan dicicipi oleh dewan juri, dinilai semua masakan memiliki cita rasa yang sangat enak, namun dinyatakan pemenangnya adalah si A…kenapa? karena dengan tempo yang disediakan oleh panitia, si A ternyata mampu memasak sebanyak 5 macam masakan, sedangkan koki lainnya hanya mampu memasak 2 sampai 3 macam masakan saja.

Menilik kasus demikian, maka kita sepakat bahwa kelebihan yang dimiliki oleh si A adalah bukan hanya pandai memasak (membuat masakan jadi enak) melainkan juga memiliki KETERAMPILAN/CEKATAN, sehingga dia mampu mengatur waktu yang ada dengan hasil yang lebih baik, walhasil, dia pun mampu membuat lebih banyak masakan.

RAHASIAnya adalah, si A “benar-benar tahu” tentang sifat dari berbagai jenis sayuran, sehingga dia jadi tahu pula, masakan apa dulu yang harus dia masak.
Tidak ada jeda waktu yang kosong, yang tidak dimanfaatkan dengan baik…dia benar-benar cekatan dengan tanpa merasa panik.

Si A juga mengakui bahwa untuk dapat memiliki keterampilan seperti itu dia telah lama melatihnya bahkan mendapatkan pembelajaran banyak dari 'keberaniannya bereksperimen (=pembuktian)', jadi dia tidak mau terpaku hanya pada teori-teori saja.

Nah, sekarang Anda sudah tahu tidak, kira-kira, siapakah orang yang akan memenangkan dalam lomba mengolah kehidupan ini?

ORANG GILA vs ORANG JAHAT

by : Bhante Dip

Kemarin siang brother Ronny bertanya: “Bhante, orang gila yang tidak mempunyai kesadaran yang cukup baik, jika melakukan karma buruk, apakah dia masih akan menerima akibat dari perbuatan buruknya itu? ” (……… mari kita bahas bersama ……….)

Ada ‘kadar’ kegilaan yang berbeda dalam kesadaran diri orang-orang gila…. Menilik karakter orang-orang gila tersebut, tak ubahnya mereka itu sudah menjadi seperti manusia binatang atau seperti manusia hantu. (memiliki tubuh manusia namun memiliki batin yang hanya digerakkan ‘insting’ untuk mencari kebutuhan ‘biologisnya’ saja (makan dan seks), banyak khayalan serta dikuasai rasa khawatir/was-was berlebihan).

Jika ada kasus orang gila yang tiba-tiba menyerang hingga melukai/melenyapkan nyawa seseorang, maka menurut Buddhism, orang gila itu melakukan karma yang tidak lengkap, alasannya adalah karena TIDAK ADA NIAT…… karena karma tidak lengkap, maka sebagai akibatnya, orang gila itu ‘mungkin’ hanya mendapat penjagaan yang ekstra, hukum pengadilan tidak akan memberi sanksi hukuman mati pada orang gila.

Kehidupan menjadi orang gila -tak lebih- ‘HANYA’ menerima atau menjalani … orang gila itu sedang menerima buah dari akibat (akumulatif) kebodohan/Moha yang sudah dia kembangkan di dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya…salah satunya karena telah melecehkan Pengetahuan Benar/Dharma. Kalau ada kasus orang waras menjadi korban kegilaan orang gila, maka itu adalah ‘murni’ karma buruk orang waras itu yang sedang berbuah….

Oleh karena itu, kita yang mengaku ‘lebih sadar’ dari orang gila…seharusnya kita jadi lebih tahu apa yang harus kita lakukan…..misalnya, kalau kita sudah tahu ada seseorang yang memiliki jiwa setengah binatang atau setengah hantu….."apakah Anda mau bergaul dengannya??

Sudah tahu macan itu buas, koq malah didekati….

Keyakinan vs Fanatisme

Ini adalah salah satu topik yang dalam aplikasinya masih sangat rancu.
Kerancuan itu dapat terjadi karena batas diantara keduanya sangat
tipis, namun bila yang satu menuju ke sebuah kebaikan maka yang
lainnya akan memberikan sebuah kerugian besar. Tulisan ini didasarkan
pada sabda-sabda Sang Buddha sebagaimana tercantum di dalam kitab suci
Tripitaka namun dengan bahasa yang sederhana sesuai kapasitas
pemahaman pribadi saya.

Keyakinan yang dinamakan Saddha, adalah iman atau kepercayaan yang
berdasarkan kebijaksanaan. Keyakinan dalam ajaran Sang Buddha bukan
berdasarkan atas rasa percaya semata atau bahkan rasa takut, tapi
keyakinan yang didasarkan atas aebuah penyelidikan (ehipassiko).
Kegembiraan tidak akan pernah dirasakan oleh mereka yang hanya
memiliki keyakinan yang didasari atas rasa takut atau karena
kepercayaan yang membuta. Karena sesungguhnya kegembiraan itu hanya
dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki pengertiian benar dan
kebijaksanaan. Seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha bahwa
seseorang yang bermoral dan berwatak baik akan belajar bahwa
demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa yang mematahkan
kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan
dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru . Setelah ia
sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup
ini, lalu berpikir untuk melaksanakannya sendiri (Puggala-Pannatti,
III, 1). Sariputra (salah seorang siswa utama Sang Buddha) juga
mengungkapkan bahwa keyakinan yang baik itu harus diuji dengan
mengendalikan indra. Dengan keyakinan ini, semangat, kesadaran,
konsentrasi, dan kebijaksanaan berkembang terus menerus. "Sebelumnya
aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan
mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku
menembusnya dan membuktikan secara jelas" (Samyutta Nikaya . V, 226).

Setelah melihat uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa Saddha
adalah sebuah keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan
dengan pengertian yang benar serta penuh kebijaksanaan. Iman semacam
itu dikategorikan sebagai iman yang rasional (akaravati-saddha).
Sebuah iman yang dewasa tentu saja akan berbeda dengan iman yang
kekanak-kanakan atau membuta. Iman yang kekanak-kanakan atau membuta
inilah yang dikenal sebagai Fanatisme. Sang Buddha juga pernah
menyampaikan bahwa seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah
dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang fanatik dan tanpa
dasar. Sedangkan seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah
dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat
kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang
penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang,
seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila ada dasarnya
(Visuddhimagga. 129).

Dalam Brahmajala-sutta tercatat bagaimana Sang Buddha mengajarkan
siswanya agar bersikap kritis terhadap penganutan agama Buddha
sendiri: "Para Bhikkhu, jika ada orang berbicara menentang aku, atau
menentang Dharma atau menentang Sangha, janganlah karena hal itu
engkau menjadi marah, benci, atau menaruh dendam. Jika engkau merasa
tersinggung dan sakit hati, hal itu akan menghalangi perjalanananmu
sendiri mencapai kemenangan. Jika engkau merasa jengkel dan marah
ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang menentang kita, bagaimana
engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau salah?...
Jika ada orang yang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau
Dharma atau Sangha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan
menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini atau
itu, tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak diketemukan di
antara kami dan bukan pada kami. Sebaliknya pula, Bhikkhu, jika orang
lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sangha, janganlah karena hal
tersebut engkau merasa senang atau bangga atau tinggi hati. Jika
engkau bersikap demikian maka hal itu itu pun akan menghalangi
perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika orang lain memuji
Aku, atau Dharma atau Sangha, maka engkau harus membuktikan kebenaran
dari apa yang diucapkan dengan menyatakan berdasar hal ini atau itu,
ini benar, itu memang begitu, hal demikian terdapat di antara kami,
ada pada kami" (Digha-Nikaya. I, 3).

Setelah membaca semua sabda-sabda Sang Buddha di atas, apa yang
sekarang muncul di dalam benak anda sekalian? Bagi saya pribadi,
ajaran Sang Buddha lebih menitik-beratkan pada pengembangan
religiusitas mental dan batin kita ketimbang sebuah keberAGAMAan.
Sebagaimana dikatakan oleh Bodhidharma, bahwa Buddha tak dapat
ditemukan dalam kitab suci. Ia mengajarkan untuk melihat ke dalam hati
kita sendiri dengan kesadaran dan kesucian yang sempurna, karena di
situlah kita akan bertemu dengan Buddha. Mungkin banyak diantara anda
yang sering melihat orang-orang di sekeliling anda yang kuat menganut
agamanya secara lahiriah, tapi tidak seiring dengan perkembangan
religiusitas mental dan batinnya. Orang bisa saja sangat taat
beribadah, namun di dalam rumahnya ia menyiksa istrinya dan di luar
rumahnya ia seorang lintah darat. Boleh jadi orang gigih menganut
agama dengan motivasi tertentu seperti dagang, karier atau tuntutan
calon mertua. Orang yang militan dalam kegiatan organisasi agama,
namun mengobarkan kebencian dan permusuhan, tidak peduli dengan
kesulitan orang lain, tidak jujur, tidak adil, tentunya tidak
religius. Sebaliknya ada orang yang tidak begitu cermat menaati aturan
agama (bukan mengenai nilai moral yang universal) atau bahkan ia juga
tidak mengenal agama sama sekali, namun ia cinta pada kebenaran,
lurus, tidak munafik, tidak egois, tidak serakah dan suka menolong,
maka ia bisa disebut religius.

Jadi sekarang pilihan berada di tangan anda. Karena sesungguhnya Sang
Buddha sudah membabarkan secara lengkap dan sempurna mengenai
perbedaan antara Saddha & Fanatisme. Artikel ini sendiri bersumber
dari tulisan Bapak Khrisnanda Wijaya-Mukti dalam bukunya yang sangat
indah dan berjudul "Wacana Buddha-Dharma". Buku tersebut dan juga
nasehat mama saya, telah sangat banyak membantu saya keluar dari
kesalahan pandangan saya sebagai seorang siswa Sang Buddha. Saya
sendiri mengenal Buddha-Dharma pada tahun 1997 (kemudian menerima
Tisarana & Pancasila pada tahun yang sama). Namun bukan kedamaian yang
saya temukan akan tetapi "debat kusir" yang tak perlu serta
berkepanjangan dengan famili dan para sahabat yang kebetulan
non-Buddhis. Puncaknya adalah tahun 2003, saat saya mendapat
kesempatan menjadi seorang Dharmaduta, karena pada saat itu saya
justru lebih banyak melakukan ADharma (dengan cara melakukan musavada
tentang keyakinan-keyakinan selain Buddhis kepada para umat). Nasihat
mama saya pun hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Tahun
2004 saya mendapatkan buku yang sangat berharga itu, yang juga
kemudian menyadarkan saya akan kebenaran nasehat mama saya selama ini.
Seperti Angulimala, saya akhirnya membuang "pedang" saya dan
menggantinya dengan sebuah teratai kebenaran. Keindahan lain yang saya
rasakan adalah saat saya bisa mengenalkan Buddha-Dharma kepada
rekan-rekan non-Buddhis, karena kini saya datang kepada mereka dengan
kedamaian.

Teman-teman sekalian, jadikan Buddha-Dharma sebagai pembebasmu dan
bukan sebagai belenggumu, karena sesungguhnya Sang Buddha pun juga
sudah menguraikan bahwasanya kebanggaan (beragama Buddha) juga adalah
salah satu penghalang kita dalam mencapai kemenangan (Nibbana).
Selamat berbuat kebajikan dan semoga semua mahkluk selalu hidup
berbahagia, Saddhu.

(sumber: Buku Wacana Buddha-Dharma karya Bapak Krishnanda Wijaya-Mukti)

Sabtu, 26 Desember 2009

Apapun Yang Terjadi, Selalulah Berpedoman Pada Kebenaran

“Kesejahteraan dalam kehidupan adalah wajar, kemerosotan dalam kehidupan juga adalah wajar. Seseorang yang mencintai Dharma (kebenaran) akan sejahtera dan seseorang yang membenci Dharma akan merosot.” SUTTA NIPATA 92

Pada dasarnya, hidup dalam “Dharma : kebenaran” adalah cikal bakal dari timbulnya kebahagiaan dan kesejahteraan dan juga merupakan dasar utama, sirnanya perbuatan – perbuatan tercela, yang menyebabkan munculnya penderitaan – penderitaan. Dalam kitab suci ANGUTTARA NIKAYA III : 262, Sang Buddha menyabdakan bahwa terdapat 5 (lima) jenis harta mulia, yang jika dikembangkan dengan baik akan menyebabkan makhluk – makhluk hidup terbebas dari jeratan – jeratan “dukkha : derita” dan berhasil meraih “sukkha : kebahagiaan” Kelima harta mulia tersebut adalah :

A. Silava: Mempunyai Moral Yang Baik.

Moralitas yang baik itu adalah meliputi :

1. Menghindari segala bentuk dari pembunuhan. Dalam konsep Buddhis ditegaskan bahwa tiada suatu makhluk hiduppun yang dibenarkan atau pantas disakiti dan apalagi dibunuh. Sang Buddha menyabdakakan : “Ia yang membunuh akan mendapatkan seorang pembunuh. Ia yang merebut akan menjumpai seorang perebut. Ia yang mencaci maki akan memperoleh cacian. Jadi, sebagai akibat dari tindakannya sendiri, si pengganggu pada saatnya akan di ganggu pula.”

2.Menghindari segala bentuk dari pencurian. Hukum karma itu adil adanya, siapa yang berbuat maka dialah yang akan menerima hasil dari akibatnya.

3. Menghindari segala bentuk dari perzinahan. Sang Buddha menyabdakan : “Barang siapa membunuh makhluk hidup, berdusta, mencuri, berzinah dan suka mabuk mabukan; orang semacam ini seakan menggali liang kubur bagi dirinya sendiri, di dunia sekarang ini juga.”

4. Menghindari segala bentuk dari kata – kata dusta. Sang Buddha menyabdakan : “Santo na te ye vadanti dhammam : orang yang berbicara yang tidak sesuai dengan Dharma (kebenaran), bukanlah orang Bijak.”

5. Menghindari segala bentuk minuman / makanan yang mana bisa menyebabkan hilangnya kesadaran (mabuk). Sang Buddha menyabdakan : “Apabila mencintai diri sendiri, seseorang tidak selayaknya melibatkan dirinya dalam kejahatan.”

B. Bahusutta: Berpengetahuan Dharma dan Vinaya Yang Baik
Dharma adalah ajaran Sang Buddha dan Vinaya adalah peraturan – peraturan yang seharusnya dipedomani agar tidak sampai melanggar rambu – rambu ketidakbenaran. “Memahami Dharma (kebenaran) dengan sepenuhnya akan terbebas dari kerinduan karena memiliki pandangan terang. Orang Bijak tersebut akan bebas dari semua nafsu keinginan dan tenang bagaikan kolam yang tidak terkacaukan oleh angin.” ITIVUTTAKA 91.

C. Kalyanavaca: Berbicara Lemah Lembut
“Seseorang seharusnya hanya mengucapkan kata – kata yang tidak membahayakan diri sendiri dan tidak menyebabkan bahaya bagi orang – orang lain. Itulah sesungguhnya ucapan yang indah.” SUTTA NIPATA 451. Berpikirlah terlebih dahulu sebelum berucap. Itulah ciri khas dari orang yang Bijaksana. “Sang Buddha mengucapkan kata-kata yang membawa kepada pencapaian rasa aman, kepada akhir penderitaan dan pencapaian Nibbana. Sungguh, inilah ucapan yang utama.” SUTTA NIPATA 454

D. Dhammikathaya Sandassana: Mampu Menerangkan Dharma Vinaya Secara Jelas Dan Terperinci Sehingga Membangkitkan Semangat dan Memuaskan Umat
Dharma yang dipelajari, bukanlah semata – mata untuk diketahui tetapi yang terpenting adalah dipraktekkan dalam bentuk yang nyata. Ibarat obat, apakah akan memberikan hasil atau tidak, sangatlah ditentukan oleh, ada tidaknya kita mencoba atau memakannya. Demikian pula halnya dengan Dharma. Sang Buddha menyabdakan : “Dari semua obat di dunia, yang banyak dan beraneka jenis, tidak ada satupun yang menyamai obat Dharma (kebenaran). Karena itu, O para bhikkhu, minumlah obat ini. Setelah meminum obat Dharma ini, engkau tidak akan tua dan akan dapat mengatasi kematian. Setelah mengembangkan dan memahami kebenaran, engkau akan damai dan bebas dari nafsu keinginan.”

E. Jhanalabhi: Melaksanakan Samatha Bhavana Sehingga Mencapai Jhana
Keberhasilan di dalam pelaksanaan meditasi, dimana pikiran terpusat erat pada suatu objek (sasaran) yang dituju, itulah yang disebut dengan telah mencapai jhana. Indikator dari keberhasilan meditasi adalah berhasil mencapai jhana.

KESIMPULAN :
Selalulah berpedoman kepada “dharma : kebenaran” atas apapun yang terjadi dengan :

1. Merawat, menjaga dan membina moralitas.

2. Rajin belajar dan mendalami ajaran Sang Buddha.

3. Memiliki ucapan benar, yang telah terbebaskan dari niat – niat jahat

4. Membabarkan nilai- nilai kebajikan kepada siapapun juga

5. Melaksanakan meditasi Semoga dengan dipedomaninya sifat – sifat mulia ini, hendaknya kehadiaran kita senantiasa bermanfaat bagi semua makhluk hidup.

Sabbe satta sabba dukkha pamuccntu – sabbe satta bhavantu sukhitata : semoga semua makluk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia…sadhu….sadhu…sadhu….

Karakteristik Buddhis

Pendahuluan

Hingga saat ini, ajaran Buddha yang dikenal dengan Buddhasâsana, Buddhadhamma, Dhamma, atau Dhamma Vinaya telah berusia lebih dari 2500 tahun. Jikalau dihitung mulai dari pembeberan Dhamma pertama dengan judul “Dhammacakkappavattana Sutta : Kotbah tentang pemutaran roda Dhamma “ kepada lima pertapa (sekitar 588 S.M. di Taman Rusa Isipatana) kendati pertama kalinya di hari ke-50 setelah Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna, Buddha memberikan nasihat Dhamma kepada dua orang pedagang (Bhallika dan Tapussa) yang sedang lewat di dekat Buddha sedang duduk, maka tahun 2006 ini Dhamma telah berusia 2595 tahun. Dengan usia yang cukup tua tersebut, tentunya Buddhadhamma memiliki ciri tersendiri dan memiliki khasnya sendiri pula. Dan tentunya ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan ajaran-ajaran yang lain serta tidak dapat ditarik suatu garis persamaan. ‘Kita harus berani tampil BEDA’. Untuk itu, seyogyanya kita –umat Buddha dapat mengetahui dan memahami Dhamma; ajaran Buddha agar kita dapat melihat keistimewaan atau khasnya Buddhis dan yang menarik minat banyak pihak untuk menganut Buddhadhamma.

Buddhadhamma –Ajaran Buddha
Sejak tahun 588 S.M. Buddha membeberkan Dhamma hingga detik terakhir Beliau wafat (mencapai Parinibbâna) pada tahun 543 S.M., maka Buddha membeberkan Dhamma selama 45 tahun. Angka ini adalah merupakan angka yang paling besar dan paling lama mengajar Dhamma dari guru-guru spritual lainnya di dunia ini. Tak mengherankan bila kitab suci Tipiöaka merupakan kitab yang paling tebal dan isinya adalah keseluruhan kotbah yang disampaikan Buddha diberbagai tempat dan kepada berbagai suku. Dan kepiawaian Beliau dalam membeberkan Dhamma adalah menggunakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum kala itu, yakni bahasa Pâïi. Sedangkan bahasa Sanskerta adalah bahasa bangsawan dan paling sedikit digunakan oleh Buddha dalam membeberkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pula pada pengakhirannya. Penggunaan bahasa rakyat jelata adalah menunjukkan bahwa Buddha merupakan seorang yang low profile, rendah hati, tiada sombong, dan tidak memandang sebelah mata masyarakat grass-roots.

Dhamma –ajaran Buddha bagaikan sebuah rakit yang berfungsi sebagai alat penyeberang. Kalau rakit dapat menyeberangkan orang ke pantai seberang, sedangkan Dhamma adalah alat untuk mencapai Nibbâna –pencapaian pembebasan dari dukkha. Mereka yang melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang-orang yang berada disekitarnya.

Karakteristik Buddhis

Buddhadhamma merupakan ajaran yang dibeberkan dan dikumandangkan oleh Buddha Gotama yang berasal dari anak Raja Sudodhana penguasa Kapilavatthu. Karena ketidak-inginan Beliau akan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuanya dan Beliau memiliki kecenderungan untuk hidup bebas dan penuh ketenangan, maka Beliau meninggalkan istana kerajaan yang menawarkan kemelekatan duniawi, sementara Beliau memilih untuk bebas dari keterikatan duniawi. Pada akhirnya Beliau keluar dari istana untuk mencari obat agar dapat membebaskan diri dari keterikatan duniawi yang pada akhirnya membawa dukkha. Setelah melakukan pengasingan selama enam tahun di hutan Uruvella, Beliau memperoleh pencerahan. Pencerahan inilah yang kemudian Beliau kumandangkan kepada dunia melalui dua orang pedagang yang bernama Bhallika dan Tapussa, selanjutnya kepada Pertapa Kondañña, Pertapa Vappa, Pertapa Bhaddiya, Pertapa Mahânâma, dan Pertapa Assaji.

Berikut ini akan dibahas tentang ciri-ciri atau sifat khas ajaran Buddha, yakni :

1. Dukkha –ketidakpuasan, hal ini adalah menjadi ajaran utama Buddha Gotama di dalam pembeberan Dhamma yang pertama. Buddha tidak menyembunyikan fakta hidup bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpuasan. Dengan fakta ini, maka Buddha menjelaskan dengan terperinci tentang ketidakpuasan, dasar-dasar ketidakpuasan, sebab-sebab akhir atau lenyapnya ketidakpuasan dan kemudian cara-cara untuk melenyapkan ketidakpuasan. Jadi dalam hal ini banyak orang yang tidak memahami atau mempelajari keseluruhan dari ajaran tentang dukkha, sehingga banyak yang salah mengerti dan salah memandang tentang ajaran Buddha. Karena kesalahpandangan dan kesalahpahaman tersebut menyebabkan banyak orang berpandangan bahwa Buddha tidak pernah mengajarkan tentang kebahagiaan, sehingga ajaran Buddha digolongkan menjadi ajaran pesimis. Moni Bagghee, “Our Buddha” : Analisa Rasional - Buddhadhamma merupakan satu-satunya agama besar di dunia ini yang secara sadar dan terus terang berlandaskan kepada suatu analisa rasional yang sistematis terhadap problem-problem kehidupan serta jalan pemecahannya. Dr.K.N.Jayatilleke,”Buddhism and Peace” : Fakta Realitas yang Terakhir – Di sini adalah perlu untuk diberikan perhatian kepada sifat unik lainnya dari Buddhadhamma, yakni bahwa ia adalah satu-satunya ajaran dari seorang guru, yang merupakan hasil dari filosofi yang konsisten, yang dengan tegas memberitahukan kita mengenai fakta kehidupan dan realitas yang terakhir. Buddhadhamma adalah suatu pedoman hidup yang dihasilkan dari penerimaan terhadap kehidupan, yang dikatakan sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Filsafatnya bukanlah tanpa memperhitungkan sifat alamiah dari pengetahuan.

2. Buddha –seorang yang objektif, Buddha adalah seorang yang Rasionalis dan Objektif, pernyataan ini dapat dilihat dari apa yang Beliau ajarakan kepada kita. Beliau dengan bijaksana menunjukkan kepada kita tentang perbuatan baik lengkap dengan buah-buah yang akan dinikmati oleh si pelaku, demikian pula tentang perbuatan buruk serta akibat yang akan dialami oleh mereka yang melakukan kejahatan. Dengan demikian, Buddha menyerahkan remote control kepada kita masing-masing, mana yang akan kita pergunakan ‘apakah yang baik atau yang buruk ?’. Dr. S. Radhakrsishnan, “Gautama The Buddha” : Kita Terkesan oleh Semangat Rasionalitas-Nya – Tatkala kita membaca kotbah-kotbah-Nya, kita terkesan oleh semangat rasionalitas-Nya. Jalan etika Buddha yang pertama ialah pandangan/pengertian benar, suatu pandangan yang rasional. Beliau berusaha menyingkirkan segala perangkap yang merintangi pandangan /penglihatan manusia terhadap dirinya sendiri serta nasibnya.

3. Ehipassiko –datang, lihat, dan buktikan, Ven.Dr.W.Rahula, “What the Buddhis Taught” Buddhadhamma adalah selalu merupakan pertanyaan tentang pengetahuan dan pembuktian; bukan tentang kepercayaan. Ajaran Buddha memenuhi syarat sebagai Ehipassiko, mengundang Anda untuk datang, dan membuktikan, bukannya datang dan percaya. Berkaitan dengan ini berarti prinsip Buddhis bukan ‘Datang dan Percayalah’ akan tetapi ‘Datang dan Buktikanlah atau mari buktikan’. Dari pernyataan di atas jelaslah bahwa ajaran Buddha berkecenderungan beranjak dari pengetahuan atau ilmiah dan bukan berdasarkan kepercayaan yang membuta. Sesungguhnya keyakinan seseorang menjadi kuat apabila sesuatu yang menjadi dasar pengetahuan mereka karena telah membuktikan kebenaran tersebut secara akurat ketimbang hanya percaya pada apa yang tertulis kendatipun itu berasal dari kitab suci yang diyakini.

4. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, tidak ada tempat bagi siapa pun untuk pergi berlindung selain berlindung pada dirinya sendiri. Para Buddha hanyalah sebagai penunjuk Jalan, kita-lah yang harus menapaki Jalan tersebut. Buddhadhamma mengandalkan diri sendiri daripada diluar diri sendiri. Dalam tradisi Buddhis tidak mengenal sistem permohonan atau permintaan untuk menjadi bahagia, sehat, kuat, maupun kaya ataupun enteng jodoh. Menurut Dhamma, kebahagiaan, kesehatan, kekuatan, kaya maupun enteng jodoh tidak dapat diperoleh dengan cara meminta dan memohon, namun dapat diperoleh dengan membuat sebab-sebabnya agar menimbulkan akibat. Dengan penjelasan ini jelaslah bahwa umat Buddha bukan penyembah berhala, seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Umat Buddha melakukan pûjâbhatti adalah sebagai wujud penghormatan kepada Buddha sebagai guru yang telah menjadi teladan dan menunjukkan jalan kebenaran bagi kita. Lebih tepat dapat dikatakan bahwa Buddharûpaæ yang berada di atas altar adalah merupakan simbol dari visi ajaran Buddha, yakni mencapai Nibbâna. Cara penghormatan yang dilakukan adalah merupakan tradisi masyarakat setempat atau merupakan budaya India.

5. Diri sendiri adalah sumber kebajikan dan kejahatan, Buddha bersabda yang terdapat dalam Dhammapada bahwa yang menjadi sumber kebajikan dan kejahatan adalah perbuatan seseorang. Seseorang dapat melakukan perbuatan yang berawal dari lobha/keserakahan, dosa/kebencian, dan moha/kebodohan (Ti-akusala mula : tiga akar kejahatan) serta alobha/ketidakserakahan, adosa/ketidakbencian, dan amoha/ketidakbodohan (Ti-kusala mula : tiga akar kebajikan). Dan perbuatan pula yang menjadikan seseorang menjadi suci ataupun tidak suci. Bukan Buddha ataupun Tuhan yang menjadi sumber kebajikan dan bukan pula setan atau iblis yang menjadi sumber kejahatan. Dengan demikian tiada seorangpun yang bisa dipersalahkan karena kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Tidak bijaksana pula bila kita mempersalahkan setan dan iblis yang telah menggoda manusia untuk melakukan kejahatan. Bila memang setan dan iblis kerjanya adalah menggoda manusia, maka timbul pertanyaan mengapa manusia bisa tergoda ? Dalam hal ini kesadaran seseorang sangat-sangat dibutuhkan. Bila seseorang telah memiliki kesadaran, maka manusia dapat memilah-milah antara perbuatan baik dan perbuatan jahat. Dengan mengetahui bahwa hal tersebut adalah baik maka seharusnya terus dilakukanlah, akan tetapi apabila hal tersebut tidak baik atau jahat maka hindarilah, jangan dilakukan.

6. Pemberi dâna berterima kasih kepada penerima, pada umumnya si penerima berterima kasih kepada pemberi. Berbeda halnya dalam Buddhism, si pemberilah yang mengucapkan terima kasih, alasannya karena penerima dâna telah memberi kesempatan kepada pemberi dâna untuk membuat kamma baik. Kendati demikian bukan berarti bahwa pemberi dâna tidak perlu mengucapkan terima kasih. Mengucapkan terima kasih adalah merupakan perbuatan balas jasa. Hal ini juga merupakan hal yang baik. Namun bukan karena seseorang telah memberi lantas berkeinginan untuk menjadi penguasa atau bertindak angkuh dan sombong. Jadi karena orang yang menerima telah memberi peluang kepada pemberi melakukan jasa kebajikan, sepantasnya-lah si pemberi mengucapkan terima kasih.

7. Menggunakan Alat sebagai tanda penghormatan atau terima kasih, selesai mencapai Pencerahan, Buddha Gotama selama satu minggu melihat pohon Bodhi sebagai tanda terima kasih Beliau kepada pohon Bodhi yang telah memberikan pernaungan dalam merealisasikan Pencerahan. Demikian pula halnya umat Buddha belajar dari Guru Agung Buddha Gotama yang telah berjasa dalam pembabaran kebenaran yang membawa kebahagiaan, kedamaian, dan Pencerahan. Umat Buddha tidak menyembah patung untuk meminta dan memohon apapun, akan tetapi umat Buddha menyatakan sujud dan bhatti atas tauladan yang diberikan Buddha Gotama serta menjadi motivasi dalam meraih kesuksesan hidup dan Pencerahan untuk jangka panjang.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang karakteristik Buddhis, semoga membawa manfaat bagi kita semua dan menjadi dasar kita berpikir. Setelah memiliki pemikiran Buddhistis, kita juga seharusnya tidak berhenti hanya pada pemikiran saja, namun sebaiknya pemikiran tersebut menjadi dasar pula untuk dipraktikkan di dalam keseharian. Perbuatan inilah yang sesungguhnya diharapkan sebagai umat Buddha yang mengerti Dhamma.

Benarkah Aku Beragama Buddha

Benarkah anda beragama Buddha ? Sebuah pertanyaan ringan, tapi sulit untuk dijawab dengan cepat, seperti kita menjawab pertanyaan berapa 2 x 2 ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita memerlukan waktu untuk mengadakan perenungan dan intropeksi pada diri kita sendiri.

Banyak orang mengaku sebagai umat Buddha, tapi banyak pula yang belum mengetahui Dhamma yang diajarkan Sang Buddha guru junjungan kita. Banyak di antara mereka yang sering datang ke vihara hanya untuk bermain-main atau hanya sekedar ingin bertemu dengan kawan-kawannya yang berasal dari sekolah lain. Apakah ini yang dinamakan bhakti dan sembah sujud kita kepada Sang Buddha selaku umat Buddha ?

Dari ucapan seseorang kita dapat mengetahui kepribadian dan paham yang mereka anut. Alangkah sayangnya, jika seseorang diajak menyelesaikan suatu masalah mereka menjawab dengan jawaban yang tidak pernah ada didalam ajaran oleh Sang Buddha. Tak jarang pula diantara mereka yang mengaku sebagai umat Buddha , tapi sewaktu ditanya masalah Dhamma mereka memberikan suatu jawaban yang jawabannya tidak pernah diajarkan oleh Sang Buddha. Mereka sering mencampuradukkan istilah istilah yang ada di dalam agama lain kedalam agama Buddha.

Sebagai contoh, manusia setelah mati, sebelum dia masuk atau ditentuan masuk ke nereka atau ke surga, ia akan mengalami pengadilan untuk menimbang beratnya perbuatan baik-jeleknya selama hidup sebagai manusia. Pengertian ini tidak pernah ada didalam ajaran Sang Buddha. Kammanyalah yang menentukan seseorang itu dapat masuk ke surga, jika sering berbuat jahat (Akusala kamma) maka ia akan dilahirkan di alam neraka atau alam yang menyedihkan lainnya.

Hukum kamma tau yang lajim disebut hukum sebab-akibat, yaitu hukum alam yang mengatur segala sesuatu tindakan baik yang dilakukan oleh badan jasmani, ucapan dan pikiran yang akan membawa hasil. Dan hasil yang berupa akibat atau buah dari perbuatan kita itu akan buruk, jika kita melakukan perbuatan jahat. Dan akan berbuah dengan baik, jika kita melakukan perbuatan baik. Semua hasil perbuatan ini, baik yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan, kita sendiri yang harus menerimanya.

Mereka yang belum mengerti tentang Dhamma, tidak mau mengakui adannya hukum kamma ini, dan bahkan ada yang mempunyai anggapan bahwa perbuatan jelek atau kesalahannya itu dapat ditembus dengan mengadakan upacara sembahyang atau yang sering disebut dengan istilah pengampunan dosa. Kesalahan- kesalahan seperti diatas amat merugikan kita. Apalagi yang mengajukan pertanyaan itu adalah umat dari agama lain yang ingin mengetahui atau ingin mempelajari Dhamma Sang Buddha.

Sebab jika kita memberikan penjelasan yang salah, mereka juga akan memberikan jawaban yang salah jika ditanya oleh orang lain. Jika mereka sampai tahu bahwa apa yang kita katakan itu salah, maka mungkin saja mereka akan mencemoohkan kita dan akan mengejek atau menyebut kita dengan "Umat Buddha KTP" atau "Umat Buddha Statistik"

Atau bahkan mereka mengatakan "Pura-pura beragama supaya tidak dianggap komunis:, sebab di negara Indonesia kita ini semua orang wajib beragama. Ucapan tanpa tindakan tiadalah berarti. Ibarat intan permata yang indak namun tidak memancarkan sinar karena tidak pernah diasah.

Begitulah dengan kita, jika kita mengetahui dengan mengaku sebagai umat Buddha, maka kita yach.. mau tidak mau harus belajar Dhamma dengan baik. Tak cukup hanya belajar tanpa mau mempraktekkannya didalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sebagai seorang umat Buddha yang baik. Dari tingkah laku dan tindakan kita yang mencerminkan sebagai umat Buddha yang baik, maka masyarakat disekitar kita akan mengetahui dan mengakui bahwa agama Buddha adalah agama yang besar.

Alangkah baiknya, jika kita hidup ditengah tengah masyarakat yang bebas dari cemohan ataupun menjelek-jelekan agama kita karena tingkah laku kita sendiri. Dengan demikian kita ikut menciptakan suasana rukun, tentram, dan damai diantara kita, sehingga akan terbina suatu masyarakat yang penuh toleransi dan rasa saling menghormati.

Pelajarilah Dhamma! Jika suara hatimu mengatakan "Aku umat Buddha atau aku siswa Sang Buddha", tunjukkan dengan ucapan dan perbuatan yang benar (yang sesuai dengan Dhamma Sang Buddha). Kita perlu membuktikan melalui ucapan dan perbuatan kita agar kita diakui dimasyarakat sebagai umat Buddha yang baik, bukan sebagai umat Buddha KTP.

Sekali lagi pelajarilah Dhamma, jika engkau memang siswa Sang Buddha dan praktekkanlah dalam kehidupan sehari-hari. Niscaya Anda akan hidup bahagia lahir dan bathin.

Bukan Perintah Bukan Larangan: Hanya Ada Pengertian Benar

Oleh : Abin Nagasena


“Bukan berpegang teguh pada perintah dan larangan, melainkan membentuk kebiasaan berpikir, berucap dan bertindak secara bijaksana dan welas asih, inilah kebahagiaan tertinggi.”

Dalam ajaran agama umumnya dikenal adanya perintah dan larangan. Perintah adalah hal yang wajib dilakukan, sedangkan larangan adalah sesuatu yang harus dihindari. Perintah dan larangan ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar.

Melaksanakan perintah diyakini akan mendatangkan pahala, sedang pelanggaran atas perintah akan mendapatkan ganjaran. Demikian juga halnya dengan larangan. Mematuhi larangan akan memperoleh imbalan, sedang melanggar larangan akan dicap berdosa dan mendapat hukuman setimpal atau bahkan berkali lipat.

Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai perintah dan larangan ini? Tak dipungkiri ada yang beranggapan bahwa juga terdapat perintah dan larangan dalam ajaran Buddha. Secara sepintas memang tampak demikian adanya, namun bila kita cermati makna esensial Buddha Dharma secara mendalam, maka akan kita temukan suatu konteks yang sangat berbeda dibandingkan dengan pemahaman umum.

Dalam konteks umum, sebuah perintah dan larangan yang dilanggar akan mendapatkan ganjaran/hukuman dari si pemberi perintah. Namun dalam ajaran Buddha, perintah dan larangan yang ditetapkan oleh Buddha semata-mata bertujuan untuk melindungi para praktisi agar tidak terjatuh ke dalam belenggu penderitaan. Bila para praktisi melanggarnya, maka keterpurukan hanya dialami oleh praktisi itu sendiri, bukan orang lain, dengan kata lain tidak ada pengertian dosa turunan. Pun hukuman yang terjadi bukan merupakan bentuk rasa ketidaksenangan atau angkara murka dari Buddha. Dengan adanya pemahaman ini, kita tahu bahwa sesungguhnya perintah dan larangan dalam konteks ajaran Buddha tidaklah benar-benar berkorelasi dengan masalah pahala atau hukuman dari si pembuat perintah atau larangan itu, namun tak lebih hanya merupakan hasil dari proses sebab akibat.

Sebenarnya, baik perintah maupun larangan, Buddhisme memandangnya sebagai sebuah bentuk pengungkungan yang menghilangkan kehendak bebas (free will) manusia. Kehendak bebas di sini menunjuk pada kehendak yang sadar dan berdasarkan hati nurani. Jelasnya, perintah maupun larangan merupakan sebuah keharusan yang membatasi seorang penganut ajaran sehingga tidak bisa bertindak sesuai dengan kehendak bebas yang dimilikinya, bahkan ada kalanya keharusan itu bertentangan dengan hati nurani. Ya, memang benar, bukan perintah atau larangan itu yang tidak benar, melainkan umatlah yang kurang tepat dalam meng-interpretasi-kan makna perintah atau larangan dalam agama. Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya kesalahpengertian yang dapat berakibat fatal ini, Buddha memberikan sebuah pedoman bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan tak terlepas dari hukum karma (hukum sebab akibat), bersumbu pada ehipassiko (datang dan buktikan) serta berpegang pada prinsip welas asih. Ini merupakan pedoman bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan (baik pikiran, ucapan ataupun tindakan jasmani) adalah ditujukan demi manfaat dan kebahagiaan semua makhluk serta semua perbuatan itu dilakukan berlandaskan kebijaksanaan dan welas asih (dalam bahasa awam adalah akal budi dan nurani), bukan karena berdasarkan perintah ataupun larangan.

Banyak orang yang melakukan perbuatan baik dengan menganggapnya sebagai bagian dari perintah, sehingga tidak lagi memahami perbuatan baik itu sebagai sesuatu yang baik untuk dilakukan, tetapi sering kali berbuat baik hanya karena ingin mengejar pahala atau takut akan dosa. Akibatnya perbuatan baik itu hanya sebatas perbuatan fisik (jasmani) yang tak memberi manfaat berarti bagi perkembangan batiniah menumbuhkan rasa welas asih (empati) bagi makhluk lain. Inilah dampak dari perbuatan yang dilandasi hanya karena adanya perintah dan larangan yang cenderung membawa umat manusia pada upaya pengumpulan poin-poin agar mendapatkan kenikmatan surgawi, bukan karena rasa peduli yang besar pada orang-orang di sekitarnya.

Buddha, guru para dewa dan manusia yang telah mencapai kebijaksanaan dan welas asih tiada banding, mengajarkan pula bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan hendaknya diawali dengan Pengertian Benar. Dengan adanya Pengertian Benar ini maka setiap perbuatan yang kita lakukan adalah karena memang baik untuk dilakukan, pun sesuatu yang tidak kita lakukan adalah karena memang tidak baik untuk dilakukan, tidak semata-mata karena demikianlah yang telah disebutkan dalam Kitab Suci, atau karena adanya ancaman hukuman neraka, pun pernyataan iming-iming pahala surgawi. Dengan demikian, tidak heran jika Pengertian Benar berada di urutan paling atas dalam Delapan Jalan Utama yang diajarkan Buddha.

Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran batin akan terus bertambah dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu.
(Dhammpada 292)

Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap badan jasmani, tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan, dan selalu melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran-kekotoran batin akan lenyap dari diri mereka yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.
(Dhammpada 293)

Dalam ayat Dhammapada 292 dan 293 di atas, terlihat dengan jelas bahwa Buddha menyatakan pentingnya melakukan hal-hal yang patut dilakukan dan menghindari hal-hal yang patut dihindari. Buddha tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai perintah yang harus dilakukan ataupun larangan yang harus dihindari.

Sila Buddhis
Sila Buddhis sering kali dipahami sebagai perintah atau larangan, ini adalah salah kaprah yang fatal. Sila adalah butir-butir kedisiplinan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan makhluk lain. Karena maknanya yang sangat penting ini maka para siswa yang bertekad melaksanakan Sila harus lebih dahulu melakukan permohonan tuntunan Sila pada anggota Sangha agar dapat sepenuhnya memperoleh pemahaman yang benar mengenai makna Sila itu sendiri. Singkatnya, Sila dilaksanakan tidak sekedar sebagai kegiatan ritual ataupun bagian dari perintah dan larangan, namun sebagai proses pelatihan pemurnian batin.

Hal ini dapat terlihat jelas dalam butir-butir Panca Sila Buddhis yang berbunyi sebagai berikut:

1. Saya berjanji berusaha untuk menghindari pembunuhan.
2. Saya berjanji berusaha untuk menghindari pencurian.
3. Saya berjanji berusaha untuk menghindari perbuatan asusila.
4. Saya berjanji berusaha untuk menghindari berbohong.
5. Saya berjanji berusaha untuk menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan ketagihan dan menghilangkan kesadaran.

Kelima sila tersebut diawali dengan ucapan ¡§saya berjanji berusaha¡¨ yang memiliki dua makna penting. Pertama, adanya “saya” sebagai subyek aktif, bukan obyek pasif yang menerima perintah. Kedua, ucapan “berjanji berusaha” yang merupakan sebuah tekad atau ikrar, bukan pernyataan pasif menerima perintah. Di sini dengan jelas dapat dilihat bahwa subyek “saya” dengan penuh kesadaran dan atas kehendak sendiri menyatakan tekad untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan makhluk lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini merupakan tekad yang diiringi dengan pengertian dan pemahaman benar bahwa setiap butirnya merupakan perbuatan yang patut dihindari, sekali-kali bukan karena itu merupakan bagian dari larangan atau perintah.

Kiat Mengatasi Kenakalan Remaja

oleh: Y.M. Uttamo Thera

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri; tak seorang pun yang dapat mensucikan orang lain. (Dhammapada XII, 9)

PENDAHULUAN

Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja. Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini. Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa remaja sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja sendiri, masa ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, para orangtua hendaknya berkenan menerima remaja sebagaimana adanya. Jangan terlalu membesar-besarkan perbedaan. Orangtua para remaja hendaknya justru menjadi pemberi teladan di depan, di tengah membangkitkan semangat, dan di belakang mengawasi segala tindak tanduk si remaja.

Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai dengan 18 tahun. Seorang remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Mereka sedang mencari pola hidup yang paling sesuai baginya dan inipun sering dilakukan melalui metoda coba-coba walaupun melalui banyak kesalahan. Kesalahan yang dilakukan sering menimbulkan kekuatiran serta perasaan yang tidak menyenangkan bagi lingkungan dan orangtuanya. Kesalahan yang diperbuat para remaja hanya akan menyenangkan teman sebayanya. Hal ini karena mereka semua memang sama-sama masih dalam masa mencari identitas. Kesalahan-kesalahan yang menimbulkan kekesalan lingkungan inilah yang sering disebut sebagai kenakalan remaja.



PEMBAHASAN

Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian yang khusus sejak dibentuknya suatu peradilan untuk anak-anak nakal atau juvenile court pada tahun 1899 di Cook County, Illinois, Amerika Serikat. Pada waktu itu, peradilan tersebut berfungsi sebagai pengganti orangtua si anak - in loco parentis - yang memutuskan perkara untuk kepentingan si anak dan masyarakat. Dalam pandangan umum, kenakalan anak dibawah umur 13 tahun masih dianggap wajar, sedangkan kenakalan anak di atas usia 18 tahun dianggap merupakan salah satu bentuk kejahatan. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas kenakalan yang dilakukan oleh para remaja dalam usia 13 sampai dengan 18 tahun.

Kenakalan remaja dapat ditimbulkan oleh beberapa hal, sebagian di antaranya adalah:

1. PENGARUH KAWAN SEPERMAINAN
Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya. Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya.

Pengaruh kawan ini memang cukup besar. Dalam Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda: "Tak bergaul dengan orang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang bijaksana, itulah Berkah Utama". Pengaruh kawan sering diumpamakan sebagai segumpal daging busuk apabila dibungkus dengan selembar daun maka daun itupun akan berbau busuk. Sedangkan bila sebatang kayu cendana dibungkus dengan selembar kertas, kertas itu pun akan wangi baunya. Perumpamaan ini menunjukkan sedemikian besarnya pengaruh pergaulan dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang ketika remaja, khususnya. Oleh karena itu, orangtua para remaja hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawan-kawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi orangtuanya.

Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘kluyuran’ tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik.

Dalam Digha Nikaya III, 188, Sang Buddha memberikan petunjuk tentang kriteria teman baik yaitu mereka yang memberikan perlindungan apabila kita kurang hati-hati, menjaga barang-barang dan harta kita apabila kita lengah, memberikan perlindungan apabila kita berada dalam bahaya, tidak pergi meninggalkan kita apabila kita sedang dalam bahaya dan kesulitan, dan membantu sanak keluarga kita.

Sebaliknya, dalam Digha Nikaya III, 182 diterangkan pula kriteria teman yang tidak baik. Mereka adalah teman yang akan mendorong seseorang untuk menjadi penjudi, orang yang tidak bermoral, pemabuk, penipu, dan pelanggar hukum.


2. PENDIDIKAN
Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan salah satu tugas orangtua kepada anak seperti yang telah diterangkan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188. Agar anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu. Selain itu, perlu dipikirkan pula latar belakang agama pengelola sekolah. Hal ini penting untuk menjaga agar pendidikan Agama Buddha yang telah diperoleh anak di rumah tidak kacau dengan agama yang diajarkan di sekolah. Berilah pengertian yang benar tentang adanya beberapa agama di dunia. Berilah pengertian yang baik dan bebas dari kebencian tentang alasan orangtua memilih agama Buddha serta alasan seorang anak harus mengikuti agama orangtua, Agama Buddha.

Ketika anak telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan akhir masa remaja, anak mulai akan memilih perguruan tinggi. Orangtua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar masa depan si anak berbahagia. Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan bakat anak, bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Masih sering terjadi dalam masyarakat, orangtua yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya memilih profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orangtua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan berakhir dengan kekecewaan. Sebab, meski memang ada sebagian anak yang berhasil mengikuti kehendak orangtuanya tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian menjadi kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin bersekolah sama sekali. Mereka malah pergi bersama dengan kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang.

Anak pasti juga mempunyai hobi tertentu. Seperti yang telah disinggung di atas, biarkanlah anak memilih jurusan sekolah yang sesuai dengan kesenangan ataupun bakat dan hobi si anak. Tetapi bila anak tersebut tidak ingin bersekolah yang sesuai dengan hobinya, maka berilah pengertian kepadanya bahwa tugas utamanya adalah bersekolah sesuai dengan pilihannya, sedangkan hobi adalah kegiatan sampingan yang boleh dilakukan bila tugas utama telah selesai dikerjakan.


3. PENGGUNAAN WAKTU LUANG
Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari orangtuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan. Misalnya, ngebut tanpa lampu dimalam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat bius, dan sebagainya.

Munculnya kegiatan iseng tersebut selain atas inisiatif si remaja sendiri, sering pula karena dorongan teman sepergaulan yang kurang sesuai. Sebab dalam masyarakat, pada umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota kelompoknya maka ia akan dijauhi oleh lingkungannya. Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si remaja, akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawan-kawannya. Akhirnya ia terjerumus. Tersesat.

Oleh karena itu, orangtua hendaknya memberikan pengarahan yang berdasarkan cinta kasih bahwa sikap iseng negatif seperti itu akan merugikan dirinya sendiri, orangtua, maupun lingkungannya. Dalam memberikan pengarahan, orangtua hendaknya hanya membatasi keisengan mereka. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan remaja. Ada kemungkinan, keisengan remaja adalah semacam ‘refreshing’ atas kejenuhannya dengan urusan tugas-tugas sekolah. Dan apabila anak senang berkelahi, orangtua dapat memberikan penyaluran dengan mengikutkannya pada satu kelompok olahraga beladiri.

Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan remaja, ada baiknya pula orangtua ikut memikirkannya pula. Orangtua hendaknya jangan hanya tersita oleh kesibukan sehari-hari. Orangtua hendaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan materi remaja saja. Orangtua hendaknya juga memperhatikan perkembangan batinnya. Remaja, selain membutuhkan materi, sebenarnya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kegiatan keluarga dapat berupa pembacaan Paritta bersama di Cetiya dalam rumah ataupun melakukan berbagai bentuk permainan bersama, misalnya scrabble, monopoli, dan lain sebagainya. Kegiatan keluarga dapat pula berupa tukar pikiran dan berbicara dari hati ke hati. Misalnya, dengan makan malam bersama atau duduk santai di ruang keluarga. Pada hari Minggu seluruh anggota keluarga dapat diajak kebaktian di Vihãra setempat. Mengikuti kebaktian, selain memperbaiki pola pikir agar lebih positif sesuai dengan Buddha Dhamma juga dapat menjadi sarana rekreasi. Hal ini dapat terjadi karena di Vihãra kita dapat berjumpa dengan banyak teman dan juga dapat berdiskusi Dhamma dengan para Bhikkhu maupun pandita yang dijumpai. Selain itu, dihari libur, seluruh anggota keluarga dapat bersama-sama pergi berenang, jalan-jalan ke taman ria atau mal, dan lain sebagainya.


4. UANG SAKU
Orangtua hendaknya memberikan teladan untuk menanamkan pengertian bahwa uang hanya dapat diperoleh dengan kerja dan keringat. Remaja hendaknya dididik agar dapat menghargai nilai uang. Mereka dilatih agar mempunyai sifat tidak suka memboroskan uang tetapi juga tidak terlalu kikir. Anak diajarkan hidup dengan bijaksana dalam mempergunakan uang dengan selalu menggunakan prinsip hidup ‘Jalan tengah’ seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Ajarkan pula anak untuk mempunyai kebiasaan menabung sebagian dari uang sakunya. Menabung bukanlah pengembangan watak kikir, melainkan sebagai bentuk menghargai uang yang didapat dengan kerja dan semangat.

Pemberian uang saku kepada remaja memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan. Jangan berlebihan. Uang saku yang diberikan dengan tidak bijaksana akan dapat menimbulkan masalah. Yaitu:
Anak menjadi boros
Anak tidak menghargai uang, dan
Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian pun uang gampang.


5. PERILAKU SEKSUAL
Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menguatirkan. Para remaja dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Pengertian pacaran dalam era globalisasi informasi ini sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun yang lalu. Akibatnya, di jaman ini banyak remaja yang putus sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam masa pacaran, anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan kenyataan. Anak hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa kenyataan sering tidak seperti harapan kita, sebaliknya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Demikian pula dengan pacaran. Keindahan dan kehangatan masa pacaran sesungguhnya tidak akan terus berlangsung selamanya.

Dalam memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap remaja yang sedang jatuh cinta, orangtua hendaknya bersikap seimbang, seimbang antar pengawasan dengan kebebasan. Semakin muda usia anak, semakin ketat pengawasan yang diberikan tetapi anak harus banyak diberi pengertian agar mereka tidak ketakutan dengan orangtua yang dapat menyebabkan mereka berpacaran dengan sembunyi-sembunyi. Apabila usia makin meningkat, orangtua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan. Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat.

Penyelesaian masalah dalam pacaran membutuhkan kerja sama orangtua dengan anak. Misalnya, ketika orangtua tidak setuju dengan pacar pilihan si anak. Ketidaksetujuan ini hendaknya diutarakan dengan bijaksana. Jangan hanya dengan kekerasan dan kekuasaan. Berilah pengertian sebaik-baiknya. Bila tidak berhasil, gunakanlah pihak ketiga untuk menengahinya. Hal yang paling penting di sini adalah adanya komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Orangtua hendaknya menjadi sahabat anak. Orangtua hendaknya selalu menjalin dan menjaga komunikasi dua arah dengan sebaik-baiknya sehingga anak tidak merasa takut menyampaikan masalahnya kepada orangtua.

Dalam menghadapi masalah pergaulan bebas antar jenis di masa kini, orangtua hendaknya memberikan bimbingan pendidikan seksual secara terbuka, sabar, dan bijaksana kepada para remaja. Remaja hendaknya diberi pengarahan tentang kematangan seksual serta segala akibat baik dan buruk dari adanya kematangan seksual. Orangtua hendaknya memberikan teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan latihan kemoralan yang sesuai dengan Buddha Dhamma. Sang Buddha telah memberikan pedoman untuk bergaul yang tentunya juga sesuai untuk pegangan hidup para remaja. Mereka hendaknya dididik selalu ingat dan melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan ini adalah latihan untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Dengan memiliki latihan kemoralan yang kuat, remaja akan lebih mudah menentukan sikap dalam bergaul. Mereka akan mempunyai pedoman yang jelas tentang perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dikerjakan. Dengan demikian, mereka akan menghindari perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan melaksanakan perbuatan yang harus dilakukan.




KIAT POKOK MENGATASI KENAKALAN REMAJA

Sebagian besar orangtua di jaman sekarang sangat sibuk mencari nafkah. Mereka sudah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk dapat mengikuti terus kemana pun anak-anaknya pergi. Padahal, kenakalan remaja banyak bersumber dari pergaulan. Oleh karena itu, orangtua hendaknya dapat memberikan inti pendidikan kepada para remaja. Inti pendidikan adalah sebuah pedoman dasar pergaulan yang singkat, padat, dan mudah diingat serta mudah dilaksanakan. Pedoman ini telah diberikan oleh Sang Buddha dalam Kitab Suci Tipitaka, Anguttara Nikaya I, 51.

Dengan memberikan inti pendidikan ini, kemana saja anak pergi ia akan selalu ingat pesan orangtua dan dapat menjaga dirinya sendiri. Anak menjadi mandiri dan dapat dipercaya, karena dirinya sendirinyalah yang akan mengendalikan dirinya sendiri. Selama seseorang masih memerlukan pihak lain untuk mengendalikan dirinya sendiri, selama itu pula ia akan berpotensi melanggar peraturan bila si pengendali tidak berada di dekatnya.

Inti pendidikan ini terdiri dari dua hal yaitu :

* HIRI = MALU BERBUAT JAHAT
Benteng penjaga pertama agar remaja tidak salah langkah dalam hidup ini adalah menumbuhkan hiri atau rasa malu melakukan perbuatan yang tidak benar atau jahat.

Dalam memberikan pendidikan, orangtua hendaknya dengan tegas dapat menunjukkan kepada anak perbedaan dan akibat dari perbuatan baik dan tidak baik atau perbuatan benar dan tidak benar. Kejelasan orangtua menerangkan hal ini akan dapat menghilangkan keraguan anak dalam mengambil keputusan. Keputusan untuk memilih kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Penjelasan akan hal ini sebaiknya diberikan sejak dini. Semakin awal semakin baik.

Berikanlah pengertian dan teladan tentang latihan kemoralan. Berikanlah kesempatan anak agar dapat meniru perilaku kebajikan orangtuanya. Ajarkan dan didiklah mereka untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Gunakanlah acara-acara di televisi sebagai alat pengajaran. Tunjukkan kepada mereka bahwa kejahatan tidak akan pernah menang. Kejahatan akan musnah pada akhirnya. Sebaliknya, walaupun kebaikan kadang menderita di awalnya akhirnya akan memperoleh kebahagiaan juga.

Apabila anak sudah dapat dengan jelas membedakan kebaikan dan keburukan, tahap berikutnya adalah menumbuhkan rasa malu untuk melakukan kejahatan. Kondisikanlah pikiran anak punya rasa malu, merasa tidak pantas melakukan pelanggaran peraturan kemoralan baik yang diberikan oleh Sang Buddha maupun oleh masyarakat lingkungan. Mengkondisikan munculnya rasa malu dapat menggunakan cara seperti ketika orangtua mengenalkan pakaian kepada anak-anaknya. Orangtua selalu berusaha memberikan pakaian yang layak untuk anak-anaknya. Namun, apabila suatu saat anak mengenakan pakaian dengan tidak pantas atau mungkin tersingkap sedikit, orangtua segera membenahinya dan mengatakan, menegaskan bahwa hal itu memalukan. Sikap itu masih berkenaan dengan masalah pakaian fisik. Pakaian batin pun juga demikian. Orangtua bila mengetahui bahwa anaknya melakukan suatu perbuatan yang tidak pantas maka katakan segera bahwa hal itu memalukan. Kemudian berikanlah saran agar dia tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Bila perbuatan itu masih diulang, berilah sanksi. Berilah hukuman yang mendidik bila perbuatan itu tetap diulang. Usahakan dengan berbagai cara agar anak tidak lagi mengulang perbuatan yang tidak baik itu.


* OTTAPPA = TAKUT AKIBAT PERBUATAN JAHAT
Apabila anak bertambah besar, orangtua selain menunjukkan bahwa suatu perbuatan tertentu tidak pantas, memalukan untuk dilakukan oleh anaknya, maka orangtua dapat meningkatkannya dengan memberikan uraian tentang akibat perbuatan buruk yang dilakukan anaknya. Akibat buruk terutama adalah yang diterima oleh si anak sendiri, kemudian terangkan pula dampak negatif yang akan diterima pula oleh orangtua, keluarganya serta lingkungannya. Orangtua dapat memberikan perumpamaan bahwa bila diri sendiri tidak ingin dicubit, maka janganlah mencubit orang lain. Artinya, apabila kita tidak senang terhadap suatu perbuatan tertentu, sebenarnya hampir semua orang pun bahkan semua mahluk cenderung tidak suka pula dengan hal itu. Rata-rata semua mahluk, dalam hal ini, manusia memiliki perasaan serupa. Penjelasan seperti ini akan membangkitkan kesadaran anak bahwa perbuatan buruk yang tidak ingin dialaminya akan menimbulkan perasaan yang sama bagi orang lain. Dan apalagi bila telah tiba waktunya nanti, kamma buruk berbuah, penderitaan akan mengikuti si pelaku kejahatan.


Menumbuhkembangkan perasaan malu dan takut melakukan perbuatan yang tidak baik ataupun berbagai bentuk kejahatan inilah yang akan menjadi 'pengawas setia' dalam diri setiap orang, khususnya para remaja. Selama dua puluh empat jam sehari, 'pengawas' ini akan melaksanakan tugasnya. Kemanapun anak pergi, ia akan selalu dapat mengingat dan melaksanakan kedua hal sederhana ini. Ia akan selalu dapat menempatkan dirinya sendiri dalam lingkungan apapun juga sehingga akan mampu membahagiakan dirinya sendiri, orangtua dan juga lingkungannya. Orangtua sudah tidak akan merasa kuatir lagi menghadapi anak-anaknya yang beranjak remaja. Orangtua tidak akan ragu lagi menyongsong era globalisasi. Orangtua merasa mantap dengan persiapan mental yang telah diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, pendidikan anak di masa kecil yang sedemikian rumit tampaknya, akan dapat dinikmati hasilnya di hari tua.

Sesungguhnya memang diri sendiri itulah pelindung bagi diri sendiri. Suka dan duka yang kita alami adalah hasil perbuatan kita sendiri. Sebab, oleh diri sendiri kejahatan dilakukan; oleh diri sendiri pula kejahatan dapat dihindarkan. Oleh karena itu, dengan memberikan pengertian yang baik tentang inti pendidikan tersebut kepada anak-anak, diharapkan anak akan dapat membawa diri dan menjaga dirinya sendiri agar dapat tercapai kebahagiaan. Kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kebahagiaan bagi orangtuanya. Kebahagiaan bagi lingkungannya.