Sabtu, 26 Desember 2009

Keistimewaan Ajaran Buddha

Oleh : Willy Yandi Wijaya

Di dunia ini terdapat banyak sekali agama maupun kepercayaan yang terkadang membuat kita menjadi bingung entah mana yang benar atau salah. Pada umumnya manusia memeluk suatu agama hanya karena warisan dari orang tua. Namun, sejak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak manusia yang berpikiran semakin terbuka dan mulai mempertanyakan keyakinan atau agama yang selama ini diyakininya. Di sini penulis akan memaparkan keiistimewaan ajaran Buddha.

Kebebasan berpikir dan Penyelidikan

Kebebasan berpikir yang membuat agama Buddha paling menarik bagi banyak orang. Di dalam Kalama Sutta (Anguttara Nikaya III, 65) diceritakan bahwa Suku Kalama bingung oleh banyaknya ajaran, agama, maupun kepercayaan yang menyebar dan saling mengatakan bahwa agama, kepercayaan maupun ajaran mereka masing-masing yang terbaik dan paling benar. Di sini lah Buddha Gautama memberikan 10 panduan yang berlaku sepanjang masa, yaitu

1. Ma anussavena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu karena turun-temurun telah diberikan secara lisan, misalnya kepercayaan terhadap burung gagak dan angka 13 yang membawa sial. Yang penting adalah cara pandang dalam melihat suatu tradisi lisan yang turun-temurun diberikan karena beberapa tradisi lisan memang mengajarkan hal-hal yang positif.
2. Ma paramparaya: Seseorang tidak seharusnya menerima mentah-mentah sesuatu karena suatu tradisi dilakukan secara turun-temurun, contohnya tradisi pengorbanan hewan untuk menghindari kemalangan. Perlu kita ketahui bahwa suatu budaya tidak ditolak dalam agama Buddha. Yang penting adalah bagaimana cara pandang terhadap budaya tersebut yang tentunya sejalan dengan etika buddhis.
3. Ma itikiriya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu secara membuta karena tersebar umum, dipercayai banyak orang, disetujui banyak orang, misalnya berita melalui sms yang membuat kepanikan, maupun berita dari internet tentang suatu hal.
4. Ma pitakadampadanena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena telah tercantum dalam kitab suci. Kepercayaan yang membuta terhadap kitab suci bisa membuat fanatik dan penghancuran terhadap kepercayaan orang lain.
5. Ma takkahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena sejalan dengan logika. Keyakinan ini bisa menjadi salah jika bersumber dari sumber yang salah maupun data-data yang tidak benar. Banyak dari kita menerima surat elektronik (e-mail) berisi informasi yang simpang siur walaupun terkadang dibuat seolah-olah logis dan masuk akal.
6. Ma nayahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena hipotesis, perkiraan maupun analisis dalam pemikiran dan terburu-buru mengambil kesimpulan.
7. Ma akaraparivitakkena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena masuk akal seperti yang terlihat atau yang dirasa. Contohnya seperti ketika orang pada abad pertengahan melihat seolah-olah bahwa matahari mengelilingi bumi seperti yang terlihat nyata oleh mata mereka dan dirasa kalau bumi tidak bergerak, padahal kenyataannya sebaliknya.
8. Ma ditthinijhanakkhantiya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena sesuai dengan anggapan sebelumnya.
9. Ma bhabbarupataya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena kredibilitas, ketenaran, kharisma, kedudukan maupun pendidikan dari si pembicara. Sering kali kita memercayai perkataan seseorang yang berpendidikan tinggi, dihormati atau disegani, padahal belum tentu hal tersebut benar.
10. Ma samano no garuti: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena si pembicara adalah gurunya. Buddha mengatakan hal ini termasuk untuk pengikutnya karena Beliau tidak ingin seseorang mudah dikontrol oleh orang lain.

Kesepuluh cara ini membuat kita berpikir ulang sebelum memercayai suatu hal. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah Buddha bukan mengajarkan untuk menolak mentah-mentah suatu hal. Bukan pula langsung menerima atau meyakini suatu hal dengan membabi buta. Justru yang Sang Buddha harapkan adalah penyelidikan yang mendalam, khususnya penyelidikan terhadap kebenaran (dhammawicaya).

Banyak yang salah mengerti ajaran Buddha dan menganggap bahwa jangan memercayai siapapun dan kebenaran hanya ada di diri sendiri. Hal ini dapat menjadi kesombongan karena mengira kalama sutta mengajarkan demikian. Yang benar adalah bahwa pelajari dan selidiki dahulu kebijaksanaan atau ajaran disekeliling kita yang dianggap lebih baik dan menuntun kebahagiaan. Jika ternyata membuat penderitaan, maka hindari ajaran tersebut. Sebaliknya apabila membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, maka ambil ajaran tersebut.

Pengalaman dan pembuktian sendiri

Keisitimewaan ajaran Buddha dari yang lain juga terletak pada pembuktian langsung dan berdasar pengalaman pribadi. Sang Buddha memberi kesempatan berpikir bagi setiap orang dengan sebebas-bebasnya. Apakah ada pendiri agama di dunia yang seperti Buddha Gautama? Bahkan Sang Buddha mengajarkan jangan percaya kepada Beliau sebelum ajarannya dipraktikkan dan dibuktikan sendiri. Ajaran sebaik apapun tidak akan bermanfaat jika tanpa dialami langsung oleh diri sendiri. Buddha selalu mendorong murid-muridnya untuk mencoba sendiri apa yang Beliau katakan.

Faktor utama yang paling penting dalam membuktikan suatu ajaran adalah dengan penyelidikan atau investigasi berdasarkan pandangan benar (sammaditthi). Menurut Buddha, investigasi kebenaran (dhammawicaya) atau membuka pandangan merupakan dasar bagi pencerahan dan kebahagiaan sejati. Tanpa ada keinginan untuk membuka diri dan berusaha untuk membebaskan pandangan dari ketidaktahuan, seseorang pasti diliputi ketidakbahagiaan.

Haromis dengan Iptek

Ketika banyak agama merasa terancam dengan pemikiran modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama Buddha justru sebaliknya mendapatkan tempat untuk berjalan beriringan. Ketika banyak agama menolak teori evolusi, perkembangan bioteknologi, maupun teori tanpa batas tepi (teori kosmologi mengenai ketiadaan awal maupun akhir dari alam semesta oleh Stephen Hawking), agama Buddha sebaliknya tidak langsung menolak hal-hal tersebut. Bagi ajaran Buddha, perkembangan tekonologi bagaikan pisau yang di satu sisi dapat dimanfaatkan untuk memotong di dapur, namun di sisi lain dapat dipakai untuk menusuk orang lain. Jadi, alih-alih ajaran Buddha menolak pisau tersebut, melainkan alasan penggunaan pisau tersebut yang ditolak oleh Beliau ketika dipakai untuk melukai.

Ajaran yang unik

Hanya agama Buddha yang mengajarkan bahwa dunia ini tidak memerlukan seorang pencipta yang mengontrol segalanya. Sang buddha mengatakan bahwa segala hal yang ada di dunia ini saling terikat, saling terkait, dan saling memengaruhi. Sebab-akibat yang diajarkan Buddha bukan sekedar satu arah, namun lebih kompleks bagaikan jaring laba-laba yang saling terikat dan berpengaruh. Getaran di satu titik pada bagian jaring, akan memberikan dampak terhadap sekitarnya. Tentunya persekitarannya yang paling dekat yang menerima dampak yang lebih besar daripada bagian jaring yang jauh. Sama seperti itu pula, setiap tindakan seseorang, akan memengaruhi dan memberikan dampak terutama terhadap orang-orang serta lingkungan sekitarnya. Inilah makna ajaran Buddha yang paling dalam dan khas, Kesalingterkaitan Antar Segala Sesuatu (paticcasamupada).

Ajaran Buddha juga satu-satunya ajaran yang tidak mengenal ‘diri’ atau roh kekal pada diri seseorang. Sang Buddha mengajarkan bahwa segala yang ada di dunia selalu mengalami perubahan (anicca), sehingga tidak memerlukan suatu ‘diri’ yang tetap. Ketidaktahuan dan kebodohan karena tidak dapat menerima perubahan itulah yang dikatakan Buddha sebagai penderitaan (dukkha). Karena tidak adanya ‘diri’ yang tetap, Buddha mengajarkan bahwa lakukan hal-hal yang baik demi diri sendiri maupun orang lain. Bukan hanya demi diri sendiri, namun juga demi orang lain. Bukan pula hanya demi orang lain tanpa melatih diri sendiri. Ketika semakin memperdalam ajaran, banyak guru-guru Buddhis mengucapkan bahwa mereka tidak dapat membedakan kebahagiaan diri sendiri maupun orang lain. Kebahagiaan orang lain sama dengan kebahagiaan diri sendiri. Itulah harapan Sang Buddha yang terus-menerus membagi ajaran dan cara-cara untuk mendapatkan kebahagiaan sebenarnya selama 45 tahun Beliau menyebarkan ajaran (Dharma) demi orang banyak (Anguttara Nikaya II, 146).

Daftar Pustaka

Buddhadasa, Bhikkhu. 2005. Pesan-pesan Kebenaran. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

Thera, Nyanaponika dan Bodhi, Bhikkhu (editor). 2001. Petikan Anguttara Nikaya 1. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan DHAMMAGUNA.

Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.

Wijaya, Willy Yandi. 2009. Pikiran Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar