Sabtu, 26 Desember 2009

Korupsi Perspektif Buddhis

Oleh : Willy Yandi Wijaya

Salah satu permasalahan yang sampai saat ini masih membelenggu masyarakat Indonesia adalah masalah korupsi. Permasalahan ini telah ada sejak lama dan telah berakar kuat pada masyarakat kita. Namun, bukan berarti kita hanya menutup mata terhadap masalah ini sebagai jalan keluarnya.

Berikut ini akan dibahas permasalahan korupsi dipandang dari perspektif buddhis.

Pengertian Korupsi

Sebelum memulai pembahasan korupsi menurut perspektif buddhis, hendaknya kita semua sepakat dahulu dengan definisi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Jadi pembahasan topik korupsi didasari dengan definisi menurut KBBI.

Sebab terjadinya korupsi

Dasar seseorang melakukan korupsi adalah keserakahan (lobha) dan berakar pada kebodohan-batin (moha). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar, niscaya ia tidak akan bertindak bodoh. Ia akan menyadari bahwa segala sesuatu itu, baik itu materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Dengan menyadari hukum alam tersebut, siapa pun akan berpikir lebih jernih dan nyata sehingga tidak akan bertindak bodoh.

Walaupun bersumber pada diri sendiri, lingkungan juga mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakteristik seorang manusia. Lingkungan yang buruk—banyaknya korupsi— akan menarik jatuh seseorang ke jurang kejahatan jikalau ia tidak memiliki kebijaksanaan (panna atau prajna). Lingkungan buruk yang dimaksudkan di sini terutama ditekankan pada pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik—dalam hal ini korupsi— yang mungkin saja bisa memengaruhi seseorang menjadi buruk juga, walaupun pada akhirnya kembali kepada dirinya sendiri. Biasanya banyak yang terpengaruh oleh lingkungan, jadi berhati-hatilah dan selalu bijaksana.

Melawan perkembangan korupsi

Salah satu Aturan-moralitas Buddhis (sila) dalam Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila) yang perlu dihindari oleh umat Buddha adalah menahan diri dari mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya. Mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya termasuk antara lain: mencuri, merampok, atau pun korupsi. Korupsi bisa dikatakan melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila), dikarenakan memenuhi syarat-syarat pelanggaran sila ke-2, adanya subjek (pelaku), keinginan mencuri, objek (Negara, perusahaan, masyarakat, dsb) dan kejadian nyata perpindahan kepemilikan (hasil yang diambil).

Korupsi termasuk melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua—mengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya— dan akan mengkondisikan seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 dari Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila). Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) .

Di dalam Anguttara Nikaya IV:285, Buddha menjelaskan 4 macam Ditthadhammikatthapayojana (hal-hal yang berguna pada saat sekarang), yang intinya menganjurkan seseorang untuk rajin dan bersemangat dalam mencari nafkah dengan cara yang benar, dengan pergaulan yang baik sehingga ia tidak mudah terjerumus ke lingkungan yang buruk. Dengan sikap hidup yang penuh semangat dan rajin, tentunya seseorang tidak akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi. Kalau orang mau gampangnya aja dalam mencari kekayaan, biasanya segala cara akan digunakan, seperti korupsi misalnya. Jadi mulailah giat untuk bekerja dan selalu bersemangat, sehingga kita tidak mudah berbuat hal-hal seperti itu.

Selain sikap hidup yang rajin dan bersemangat, seseorang juga dituntut mempunyai rasa malu untuk berbuat jahat (Hiri) dan rasa takut akan akibat perbuatan jahat (Otapa). Dengan memiliki rasa malu dan rasa takut untuk berbuat yang tidak baik, seseorang akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan yang buruk—korupsi. Untuk menjaga pikiran yang penuh dengan keserakahan, perlu dikembangkan kebijaksanaan diri sehingga seseorang tidak mudah gegabah dan salah dalam bertindak.

Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk:

1. Menipu (kuhana),
2. Membual (lapana),
3. Memeras (nemittakata),
4. Menggelapkan (nippesikata),
5. Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha)

Di dalam sutta (ucapan Sang Buddha) tersebut Sang Buddha menjelaskan bahwasanya cara-cara kita dalam mencari kekayaan tidak boleh seperti itu. Korupsi bisa dikatakan telah memenuhi kelima hal tersebut di atas, sehingga perbuatan yang dilakukannya tersebut bisa jadi akan mencemarkan profesi yang ditekuninya dan mungkin berakibat ketidakpercayaan orang-orang terhadap profesi tersebut.

Selain dari dalam diri sendiri, yang perlu dikembangkan untuk menahan laju perkembangan korupsi adalah dengan memberikan pandangan yang benar kepada orang lain dan membuat interaksi yang positif dimulai dari diri sendiri. Dengan demikian akan terbentuk lingkungan yang kondusif yang bebas dari sikap hidup korupsi, sehingga akan meningkatkan rasa malu dan rasa takut dalam berbuat korupsi.

Akibat dari korupsi

Sekarang akan ditinjau akibat-akibat dari korupsi sehingga membuat kita semua semakin waspada agar tidak mudah terpengaruh dan jatuh ke dalam lingkungan yang buruk (korupsi).

Akibat dari tindakan korupsi dapat dilihat dari dua aspek, antara lain:

* Sang pelaku (orang yang melakukan korupsi), akan berakibat:

1. Rasa bersalah atau takut karena telah berbuat jahat
2. Rasa malu karena telah bertindak tidak benar

* Lingkungan (Di luar pelaku, bisa keluarga, masyarakat,dsb), yang berakibat:

1. Rasa malu keluarga si pelaku korupsi
2. Kerugian secara materi bagi Negara, perusahaan, atau masyarakat

Jika ditinjau dari dari aspek Buddhisme, semua perbuatan pasti akan menerima akibatnya. Si pelaku korupsi akan menerima akibat karma (karma artinya perbuatan yang disertai niat) sesuai perbuatannya. Dan sesuai hukum paticcasamuppada, bahwa segala sesuatu itu saling bergantungan, akan membuat akibat-akibat yang buruk bagi keluarga si pelaku maupun bagi masyarakat luas dan Negara.

Maka sebelum kita semua makin terjerumus atau akan terjerumus, hendaknya kita berpikir apa akibatnya tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi lingkungan/masyarakat luas.

Kesimpulan

Sebab terjadinya korupsi bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu:

1. Aspek dari dalam : Lobha (keserakahan) bersumber pada Moha (kebodohan batin), malas bekerja
2. Aspek dari luar : Lingkungan, pergaulan yang buruk (lingkungannya penuh korupsi)

Cara penanggulangan korupsi:

1. Aspek dari dalam :Malu dan takut untuk berbuat jahat (hiri-otapa), bijaksana, bersemangat dan rajin dalam bekerja
2. Aspek dari luar :Bangun lingkungan yang kondusif yang bebas dari korupsi didasari dari pengembangan diri sendiri dan interaksi yang positif dan aktif.

Akibat dari tindakan korupsi, bisa menyebabkan kerugian tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi masyarakat luas. Dan berpikirlah dengan bijaksana disertai cinta kasih sebelum terlanjur berbuat hal tersebut.

“Hendaknya setiap orang menempatkan dirinya sendiri terlebih dahulu pada jalan yang lurus/benar, kemudian ajarilah orang-orang lain”

Dhammapada 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar